![]() |
| sumber foto : nusantara.rmol.co |
Oleh: Wandi, Pengamat Lingkungan
Setiap kali banjir bandang melanda berbagai wilayah di Indonesia, narasi yang muncul hampir selalu seragam: cuaca ekstrem, hujan deras, atau siklon tropis. Narasi ini terdengar ilmiah, namun sesungguhnya menyesatkan. Ia menempatkan bencana sebagai fenomena alam yang tak terelakkan, sekaligus menutup mata terhadap akar persoalan yang jauh lebih struktural: kerusakan sistematis ekosistem hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat pilihan pembangunan yang eksploitatif.
Cuaca ekstrem bukanlah penyebab utama, melainkan pemicu terakhir dari akumulasi utang ekologis yang telah lama kita abaikan. Banjir bandang yang berulang sejatinya adalah konsekuensi logis dari hilangnya fungsi ekologis hulu DAS—wilayah yang seharusnya menjadi benteng alami pengendali air.
Hulu DAS yang Lumpuh oleh Pembangunan Ekstraktif
Secara ekologis, hulu DAS berfungsi sebagai sistem penyangga hidrologis. Hutan alam dengan struktur tajuk berlapis, serasah tebal, dan sistem perakaran yang kompleks mampu menyerap dan menyimpan air hujan, lalu melepaskannya secara perlahan. Namun fungsi vital ini kini telah runtuh.
Deforestasi, pertambangan terbuka, dan alih fungsi lahan besar-besaran telah mengubah hulu DAS dari kawasan resapan menjadi jalur percepatan limpasan air. Tanah kehilangan porositas, erosi meningkat, sungai mengalami sedimentasi, dan air hujan yang seharusnya disimpan justru mengalir deras ke hilir dalam waktu singkat. Inilah mekanisme dasar banjir bandang—bukan semata-mata karena hujan lebat, melainkan karena lanskap yang telah kehilangan daya tahan ekologisnya.
Mengabaikan fakta ini sama artinya dengan menyalahkan hujan atas runtuhnya rumah yang fondasinya telah lama rapuh.
Sawit dan Kekeliruan Logika Solusi
Dalam konteks inilah, wacana penambahan luas perkebunan kelapa sawit yang digaungkan sebagai solusi energi dan ekonomi perlu dikritisi secara serius. Klaim bahwa sawit bukan penyebab deforestasi atau bahkan dapat menjadi solusi ekologis menunjukkan kekeliruan mendasar dalam memahami fungsi ekosistem.
Sawit, betapapun produktifnya secara ekonomi, tetaplah tanaman monokultur. Ia tidak dirancang untuk menggantikan hutan alam. Secara hidrologis, perkebunan sawit tidak memiliki kompleksitas struktur yang mampu menahan air secara optimal. Secara ekologis, ia miskin keanekaragaman hayati dan rentan terhadap degradasi tanah dalam jangka panjang.
Masalahnya bukan pada sawit sebagai komoditas, melainkan pada obsesinya yang ditempatkan di ruang yang salah. Ketika ekspansi sawit diarahkan ke wilayah hulu DAS atau kawasan lindung—baik secara legal maupun melalui pembiaran—maka yang terjadi bukan solusi, melainkan penundaan bencana berikutnya. Pembangunan semacam ini mencerminkan logika ekonomi jangka pendek yang mengorbankan keselamatan ekologis dan sosial jangka panjang.
Bencana sebagai Cermin Ketidakadilan Ekologis
Banjir bandang bukan sekadar peristiwa alam, melainkan manifestasi ketidakadilan ekologis. Keuntungan ekonomi dari eksploitasi hulu dinikmati segelintir pihak, sementara risiko dan kerugian ditanggung masyarakat luas di wilayah hilir. Inilah ironi pembangunan yang gagal membaca hubungan sebab-akibat antara kebijakan tata ruang dan keselamatan publik.
Jika pemerintah terus mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, maka setiap musim hujan akan selalu disambut dengan status siaga bencana—sebuah siklus yang seharusnya bisa dicegah.
Jalan Keluar: Mengembalikan Akal Sehat Pembangunan
Sudah saatnya negara berhenti bersikap reaktif dan mulai bertindak korektif. Tiga langkah mendesak harus menjadi fondasi kebijakan ke depan.
Pertama, moratorium permanen aktivitas ekstraktif di hulu DAS kritis. Tidak ada kompromi bagi pertambangan dan perluasan perkebunan monokultur di kawasan resapan utama.
Kedua, restorasi berbasis ekosistem. Reboisasi tidak boleh lagi dimaknai sekadar menanam pohon, apalagi tanaman komersial. Restorasi harus mengembalikan hutan alam dengan spesies endemik dan struktur ekologis yang utuh.
Ketiga, penegakan hukum dan audit lingkungan yang transparan. Negara harus berani menindak pelaku perusakan ekologis, bukan justru melindunginya atas nama investasi.
Penanaman sawit bisa menjadi bagian dari solusi, tetapi hanya jika dilakukan di lahan terdegradasi di luar kawasan hulu kritis dan dengan standar keberlanjutan yang ketat. Tanpa prasyarat ini, sawit hanyalah simbol lain dari ilusi pertumbuhan yang rapuh.
Jika kita terus menormalisasi kerusakan hulu DAS, maka banjir bandang bukan lagi pertanyaan “jika”, melainkan “kapan”. Melindungi DAS bukan agenda anti-pembangunan, melainkan syarat mutlak agar pembangunan itu sendiri bisa bertahan. Masa depan bangsa ini terlalu mahal untuk dipertaruhkan demi kebijakan yang menutup mata terhadap hukum alam.
Sumber Referensi
- Pakar UGM: Banjir Bandang Sumatera akibat Kerusakan Ekosistem Hutan di Hulu - Kompas.com
- Ahli Hidrologi UGM: Banjir Aceh-Sumatra Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS - NU Online
- Badai siklon tak harus jadi tragedi berulang jika hutan tidak terus dibabat - The Conversation
- Krisis Ekologis: Refleksi Hukum Tragedi Banjir dan Longsor - Mahkamah Agung RI
- DOSA EKOLOGIS : DEFORESTASI di HULU DAS - Kompasiana
- Respons Hidrologi Akibat Deforestasi di DAS Barito Hulu - ResearchGate
- Ada Apa dengan Obsesi Berlebihan Prabowo pada Sawit? - Magdalene
- Prabowo Ungkap Potensi Sawit Jadi Solusi Energi, Di Tengah Krisis Ekologis Sumatra - Res Publica
- Menambah Lahan Sawit: Ilusi Pertumbuhan di Tengah Krisis Ekologis - Mongabay Indonesia
- Kampanye Hitam Sawit Dinilai Tak Berbasis Data, Kebijakan Pemerintah Justru Dipersoalkan - Majalah Hortus


0 Komentar