Penabekasi.id - Bekasi, Wajah Baru Otoritarianisme di Rezim Jokowi-MA: Mulai dari KUHP, Pemilihan PJ Kepala Daerah Hingga Potensi Tidak Independensi Negara Dalam Pemilu 2024
Selama masa kepemimpinan Rezim Jokowi-MA, secara perlahan tapi pasti rezim Jokowi-MA semakin menunjukan wataknya yang kental dengan karakteristik pemerintahan yang otoritarian. 

Hal tersebut terlihat dari banyaknya praktik-praktik kebijakan atau produk undang-undang yang membuat demokrasi sudah diciderai dan otoritarianisme dibangkitkan Kembali. Perihal ruang gerak publik dan masyarakat perlahan banyak upaya untuk ditertibkan dengan dalih keamanan, melawan negara, menganggu ketertiban dan lain-lain.

Praktik tersebut tentunya tidak sesuai dengan cita-cita reformasi 24 tahun lalu yang ingin melakukan demokratiasi-demokratisasi, tapi nyatanya malah sebaliknya rezim semakin menunjukan tirani, otoritarian, pro oligarki anti demokrasi dan sebagainya. Terbaru, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah disahkan.

Bentuk wajah baru otoritarian rezim Jokowi-MA terlihat dalam KUHP tersebut. Pendekatan keamanan (security approach) untuk menyelesaikan dinamika ruang publik terlihat dalam muatan yang terkandung didalamnya. Utamanya, untuk mengancam mereka yang memilih jalur kritis pada status quo (Kekuasaan).

Semenjak awal, Pemaksaan pengesahan RKUHP adalah bukti dari otoriternya rezim dalam konteks hukum. Pemerintah dan DPR sama sekali enggan untuk mendengarkan protes atau kritik yang dilayangkan oleh berbagai pihak, akademisi, aktivis, organisasi dan elemen masyarakat sipil lainnya. Artinya, hak konstitusional warga negara untuk didengarkan (to be hard), dipertimbangkan (to be considered), dan mendapatkan penjelasan (to be explained) atas setiap pendapat yang disampaikan dikebiri bahkan dikriminalisasi.

Proses dan tahapan-tahapan pembentukan KUHP hanya berporos dalam kalangan elit politik saja, termasuk dalam kendali prosesnya dijalankan secara terburu - terburu dengan fakta RKUHP masih kontroversial di publik. Hal tersebut semakin memperkuat bahwa dugaan rancangan itu merupakan proyek politik kekuasaan. Selain itu, isi pasal-pasal dalam KUHP banyak mencerminkan kepentingan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Pasal-pasal karet dan multitafsir yang jelas mengancam demokrasi, kebebasan masyarakat sipil dan melegitimasi praktik-praktik refresif pemerintah termuat dalam KUHP. Diantaranya dimulaim dari pasal karet mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218-220), penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (pasal 240-241), penyebarluasan beritah bohong (pasal 263-264), ancaman pidana bagi kegiatan demonstrasi (pasal 256), ketentuan paham terlarang dan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila (pasal 188) dan pasal-pasal lainnya.

Bukan hanya perihal KUHP, praktik penyalahgunaan kekuasaan juga terlihat melalui salah satu implikasi hukum penyelenggaran pemilu 2024 adalah kontroversi seputar penunjukan Penjabat (PJ) kepada daerah saat ini. Mengingat Pilkada tidak dilaksanakan di tahun 2022 melainkan serentak di 2024. Akibatnya
beberapa daerah akan mengalami kekosongan jabatan karena habis masa jabatan mesti digantikan oleh PJ. Tapi, dalam praktiknya justru malah ditemukan berbagai upaya penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan politik tertentu, bentuk kemunduran demokrasi atau kewenangan yang sentralistik berada di pusat dan tentunya itupun termasuk kepada indikasi otoritarianisme.

Dalam UU Pilkada memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengangkat penjabat kepala daerah dari kalangan ASN. Penjabat gubernur dipilih oleh presiden, sedangkan penjabat bupati/wali kota dipilih Mendagri. Dengan hal tersebut, sangat dikhawatirkan akan terjadi pemilihan Pj yang tidak transparan dan partisipatif sehingga akan berpotensi dimanfaatkan oleh oknum politik tertentu untuk menitipkan kepentingan politiknya. Mengingat titipan kepentingannya bisa diorientasikan untuk pemilu tahun 2024. Karena PJ Kepala daerah yang tidak netral akan berdampak kepada kualitas pemilu mendatang. Artinya, dimungkinkan tahapaan skema kepentingan politik untuk tahun 2024 sudah dimulai dari sekarang sehingga dikhawatirkan negara tidak independensinya negara pada pemilu tahun 2024.

Oleh karena demi terjaminnya Kembali demokrasi di Indonesia dan menolak praktik-praktik otoritarianisme selama kepemimpinan Rezim Jokowi-MA kami menuntut:
1. Memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terkait pada konstitusi
2. Tolak dan batalkan pengesahan KUHP
3. Hapus pasal-pasal yang bermasalah dalam KUHP
4. Berikan jaminan kepastian hukum dengan asas hukum yang berkeadilan guna terwujudnya penegakan hukum
yang tidak tumpah tindih
5. Hentikan praktik-praktik yang bersifat otoritarian dan junjung tinggi Kembali demokrasi

Sumber = Bem-SI

(NIK)