![]() |
| Oleh: Muhammad Rifqy Nur Fauzan Wakil Sekretaris Bidang PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi |
Korupsi di Indonesia bukanlah persoalan baru, apalagi sekadar ulah individu yang gagal menjaga integritas. Bagi kami, mahasiswa, korupsi adalah persoalan struktural yang menunjukkan rapuhnya sistem dan krisis moral dalam penyelenggaraan kekuasaan. Ia tumbuh dari sejarah panjang feodalisme, diwariskan lintas zaman, dan terus direproduksi dalam praktik politik hari ini.
Sejak masa kerajaan hingga kolonialisme, kekuasaan kerap dimaknai sebagai alat untuk menguasai sumber daya rakyat. Pola tersebut berlanjut pada era Orde Baru melalui praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), dan sayangnya belum benar-benar terputus di era reformasi. Kasus yang menjerat Bupati Kabupaten Bekasi Ade Kuswara Kunang dan ayahnya, HM Kunang, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 20 Desember 2025, menjadi cermin nyata dari keberlanjutan pola lama tersebut.
Kasus ini diduga melibatkan praktik suap ijon proyek senilai Rp9,5 miliar dan penerimaan gelap Rp4,7 miliar, dengan total kerugian mencapai Rp14,2 miliar dari APBD. Ironisnya, dugaan pemerasan ini terjadi saat Ade Kuswara Kunang belum genap setahun menjabat sebagai bupati. Proyek yang dijanjikan pun belum terealisasi, namun uang publik sudah lebih dulu “dirampas” melalui skema jaminan proyek.
Korupsi dan Dampaknya bagi Rakyat
Sebagai mahasiswa, kami melihat korupsi bukan hanya persoalan angka kerugian negara, tetapi persoalan masa depan rakyat. Hilangnya Rp14,2 miliar berarti jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, fasilitas kesehatan yang tak terbangun, serta pendidikan yang kembali terpinggirkan. Dampak berantai dari stagnasi proyek turut memperparah kondisi ekonomi daerah dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Korupsi juga menciptakan ketidakadilan struktural. Rakyat kecil menanggung akibatnya, sementara elite kekuasaan menikmati hasil kejahatan. Ketika ini terus dibiarkan, demokrasi lokal kehilangan makna dan kepercayaan terhadap negara perlahan runtuh.
Hasrat, Kekuasaan, dan Etika Publik
Akar terdalam dari korupsi adalah kegagalan mengendalikan hasrat. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah justru diperlakukan sebagai sarana memperkaya diri dan keluarga. Murtadha Muthahhari dalam Falsafah Akhlak menegaskan bahwa amanah adalah fondasi keadilan sosial. Ketika amanah dikhianati, maka yang runtuh bukan hanya sistem, tetapi juga nilai kemanusiaan itu sendiri.
Dalam perspektif Islam, harta hasil korupsi tetap haram, apa pun bentuk penggunaannya. Dalih bantuan sosial, kepentingan keluarga, bahkan pembangunan tempat ibadah tidak mengubah status keharamannya. Al-Qur’an dengan tegas melarang memakan harta dengan cara batil sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 188.
Peran Mahasiswa dan Jalan Perubahan
Sebagai bagian dari elemen kritis bangsa, mahasiswa tidak boleh diam. Kasus ini harus menjadi momentum untuk mendorong reformasi tata kelola yang lebih tegas dan transparan. Penerapan e-procurement tanpa celah, penguatan peran KPK, pendidikan antikorupsi yang menekankan etika dan pengendalian diri, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan adalah langkah yang tidak bisa ditawar.
Lebih dari itu, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan masa depan generasi muda.
Kasus yang menjerat Bupati Bekasi adalah alarm keras bagi kita semua. Jika budaya feodal dan hasrat kekuasaan tidak dihentikan, maka cita-cita keadilan sosial hanya akan menjadi jargon kosong. Di sinilah mahasiswa harus berdiri di garis depan: mengkritik, mengawal, dan memastikan kekuasaan benar-benar berpihak pada rakyat.


0 Komentar