Sumber Tulisan : Maulana Malik Ibrahim, S.Ag, M.Pd /Akademisi)

Penabekasi.id - Bekasi, Demonstrasi besar pada 25, 28, dan 29 Agustus 2025 bukan sekadar ledakan spontan, melainkan hasil akumulasi panjang dari ketidakadilan struktural dan defisit representasi politik. Rakyat turun ke jalan karena merasa saluran formal untuk menyampaikan aspirasi sudah buntu.

Faktor pemicu terlihat jelas: kenaikan pajak yang menekan, harga kebutuhan pokok yang kian melonjak, PHK massal, gaya hidup mewah elite politik, hingga tragedi Affan Kurniawan—driver ojek online yang dilindas rantis Brimob. Semua ini menciptakan spiral grievance (akumulasi keluhan) yang berubah menjadi ledakan sosial.

Dari sisi teori politik klasik, peristiwa ini bisa dibaca melalui kacamata Jean-Jacques Rousseau tentang kontrak sosial. Negara ada karena rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya dengan janji bahwa penguasa akan melindungi mereka. Namun, ketika negara gagal menghadirkan keadilan—hukum yang timpang, ekonomi yang menekan, dan elite yang berjarak—kontrak sosial itu dianggap retak. Rakyat merasa dikhianati, lalu mengambil kembali kedaulatannya melalui politik jalanan.

Dalam perspektif teori konflik Marxian, ketimpangan antara kelas penguasa (ruling class) dan kelas pekerja semakin nyata. DPR menikmati privilese fasilitas, sementara rakyat menghadapi krisis ekonomi. Ketimpangan ini bukan sekadar ekonomi, tetapi juga politik—akses terhadap keputusan publik didominasi elite, sementara rakyat tak punya saluran representasi yang efektif.

Tragedi Affan Kurniawan mengubah keresahan menjadi solidaritas moral. Profesi ojek online adalah simbol pekerja gig economy yang rapuh tanpa jaminan sosial. Ketika aparat dianggap melindungi pelaku, publik melihat hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Situasi ini sejalan dengan tesis Habermas tentang krisis legitimasi, di mana negara gagal memenuhi tuntutan normatif masyarakat, sehingga kepercayaan publik runtuh.

Ledakan anarkis yang terjadi—perusakan kantor DPRD, pembakaran pos polisi, hingga bentrokan—bisa dipahami lewat konsep counter-symbolic violence. Itu adalah bahasa politik rakyat yang merasa tidak punya ruang representasi setara. Kekerasan simbolik berupa kebijakan timpang, ketidakadilan hukum, dan privilese elite dibalas dengan kekerasan langsung di jalanan.

Dampak Politik dan Sosial

  1. Krisis Kepercayaan Publik. Aparat dan DPR semakin dipersepsikan jauh dari rakyat. Alienasi politik (political alienation) menguat: rakyat merasa “tidak diwakili” oleh wakil rakyat. Ini berbahaya karena memperlemah legitimasi demokrasi.
  2. Radikalisasi Politik Jalanan. Demonstrasi yang semula damai bertransformasi menjadi anarkis. Ketika institusi formal tidak dipercaya, politik jalanan menjadi saluran utama ekspresi rakyat. Risiko terbesarnya adalah rusaknya tatanan sosial dan meningkatnya bentrokan negara–masyarakat.
  3. Defisit Representasi. Ketika parlemen lebih sibuk dengan agenda pribadi ketimbang menyerap aspirasi, rakyat merasa tak punya pintu masuk formal. Ini memperkuat kesan bahwa demokrasi hanya milik elite, bukan milik semua.
  4. Potensi Reformasi atau Otoritarianisme. 
Secara politik, krisis legitimasi bisa melahirkan dua arah yakni ; Reformasi baru, jika negara memilih jalan dialog, memperkuat jaminan sosial, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu atau Otoritarianisme baru, jika negara memilih represi, membungkam protes dengan kekerasan, dan mengabaikan substansi tuntutan rakyat.

Esensi dari demonstrasi akhir Agustus 2025 adalah tanda bahwa kontrak sosial antara negara dan rakyat sedang rapuh. Rakyat turun ke jalan bukan sekadar marah, tetapi karena merasa dikhianati. Jika negara tidak segera hadir dengan keadilan substantif, siklus krisis legitimasi akan terus berulang. Namun, jika pemerintah berani mendengar dan bertindak adil, momentum krisis ini bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat kembali demokrasi dan kontrak sosial di Indonesia.