Penabekasi.id - Bekasi Utara, Tanggal 17 Agustus selalu menjadi momen sakral bagi bangsa Indonesia. Setiap tahun, upacara bendera dilangsungkan dengan khidmat, lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, dan semangat patriotik seakan menyala kembali. Di balik gegap gempita Istana Merdeka dan parade militer yang megah, di gang-gang sempit, lorong-lorong padat, dan kampung-kampung padat penduduk di sudut kota, masyarakat menyambut kemerdekaan dengan cara yang jauh lebih sederhana namun tak kalah menggugah.

Anak-anak berlarian membawa bendera kecil, ibu-ibu menyiapkan hadiah untuk lomba balap karung, dan bapak-bapak memasang umbul-umbul seadanya dari kain bekas. Sorak sorai dan tawa menggema di antara kabel listrik yang menjuntai rendah. Sebuah perayaan rakyat yang jauh dari kemewahan, namun sarat makna dan harapan.

Namun di balik semarak seremonial tersebut, muncul satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
---

Kemerdekaan yang Masih Tertunda

Pemerintah pusat telah menetapkan visi besar: Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita nasional menuju 100 tahun kemerdekaan yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, kualitas sumber daya manusia unggul, serta kestabilan sosial dan politik. Namun di tengah narasi besar itu, bagaimana realitas yang dialami masyarakat akar rumput, khususnya kami yang tinggal di kota penyangga seperti Bekasi?

Sebagai Pegiat Karang Taruna di tingkat kelurahan dan gerakan kepemudaan pada umumnya, saya menyaksikan langsung kesenjangan sosial yang masih menganga lebar. Pendidikan belum sepenuhnya inklusif. Banyak anak muda di lingkungan kami terpaksa berhenti sekolah—bukan karena malas, tapi karena dapur harus tetap ngebul.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, lebih dari 8,5 juta anak usia sekolah di Indonesia mengalami putus sekolah, dengan faktor ekonomi dan akses pendidikan sebagai penyebab utama. Sebuah angka yang seharusnya mengguncang nurani, bukan sekadar menjadi statistik dingin di laporan tahunan.

Begitu pula di sektor kesehatan. Meski Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan lebih dari satu dekade, masih banyak warga kecil yang mengelus dada ketika sakit datang. Lebih dari 30% Puskesmas di wilayah Jabodetabek kekurangan tenaga medis dan sarana penunjang, menurut data Kemenkes 2024. Apa arti kemerdekaan, jika untuk berobat saja rakyat masih harus berjuang?


Pemuda di Persimpangan Jalan

Bekasi, kota urban yang tumbuh cepat tapi kerap tak terkejar infrastrukturnya, menyimpan sisi gelap modernitas. Narkoba, judi online, dan tawuran bukan sekadar anomali sosial — melainkan jeritan dari generasi muda yang kehilangan arah.

BNN mencatat lebih dari 3,6 juta pengguna narkoba aktif di tahun 2024, dengan lonjakan tertinggi di kelompok usia 15–24 tahun. Sementara itu, transaksi judi online menembus angka Rp300 triliun sepanjang 2023, menyentuh hingga ke ruang-ruang kamar pemuda yang gelisah. Ini bukan sekadar alarm bahaya — ini sudah sirine darurat nasional.

Ketika ruang tumbuh, ruang aspirasi, dan ruang aman bagi pemuda makin sempit, mereka pun mencari pelarian. Sayangnya, yang ditemukan justru jurang, bukan jembatan.

Kemerdekaan Sejati: Tanggung Jawab Kolektif

Refleksi kemerdekaan bukan hanya soal mengingat masa lalu, tapi juga keberanian menghadapi masa depan. Bukan hanya mengenang jasa pahlawan, tapi juga memikul tanggung jawab untuk memperjuangkan kemerdekaan yang lebih bermakna.

Apakah kita sudah berhasil menciptakan ruang keadilan, akses yang setara, dan masa depan yang menjanjikan bagi seluruh rakyat? Atau kita justru terjebak dalam seremoni tahunan, tanpa evaluasi yang mendalam?

Sebagai bagian dari generasi muda, saya percaya bahwa kemerdekaan sejati bukanlah hadiah turun temurun, melainkan amanah yang harus terus diperjuangkan. Tugas kita bukan hanya menjaga nyala obor kemerdekaan, tapi juga memastikan cahayanya sampai ke gang-gang paling gelap, ke kampung-kampung yang terpinggirkan, dan ke hati pemuda yang nyaris padam harapannya.

Penutup : Merdeka Itu Bukan Sekadar Upacara

17 Agustus seharusnya tidak berhenti di pengibaran bendera dan pembacaan teks proklamasi. Ia harus menjadi cermin untuk menilai sejauh mana rakyat merasakan kemerdekaan dalam makna yang utuh. Apakah kemerdekaan itu telah hadir di perut yang lapar? Di anak-anak yang putus sekolah? Di pemuda yang tak punya panggung?

Kemerdekaan sejati adalah saat setiap anak bangsa merasa dimiliki oleh negerinya sendiri.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela, pejuang kebebasan yang mengguncang tatanan dunia:

 “Freedom is not just to cast off one’s chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others.”

Merdeka bukan hanya soal lepas dari penjajahan. Tapi juga tentang keberanian memerdekakan diri dari ketimpangan, kemalasan berpikir, dan keengganan untuk berubah.

Maka mari kita jadikan 17 Agustus bukan sekadar rutinitas tapi sebagai kompas moral untuk menata ulang arah perjuangan kita. Dari lorong sempit kampung, dari panggung kecil pemuda, dari suara-suara akar rumput yang tak pernah lelah berharap.

Merdeka!

Oleh: Resdi Firmansyah Karim
Ketua Karang Taruna Kelurahan Harapan Jaya, Penggiat Gerakan Kepemudaan