Sumber: Kemenko perekonomian
opini
Disusun Oleh: Muhammad Reza Maulana (Mahasiswa Universitas Negeri Semarang)
PENABEKASI.ID - Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal pertama tahun 2025 sebesar 4,87% (y-on-y). Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terkonktraksi sebesar 0,98% apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2024.
Meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 berada di angka 4,87%, angka ini menujukkan bahwa perekonomian nasional masih tumbuh secara positif di tengah ketidakpastian global. Di tengah ekspektasi pemulihan pasca pandemi, pemilu nasional, ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global, hal ini menimbulkan pertanyaan: apa makna sebenarnya dari angka-angka ini bagi perekonomian Indonesia dan masyarakatnya? Apakah angka tersebut cukup menunjukkan tingkat pertumbuhan yang inklusif, bemenujukkann, dan memengaruhi kesejahteraan masyarakat?
Pertumbuhan ekonomi secara umum didefinisikan sebagai peningkatan nilai output barang dan jasa suatu negara dalam periode waktu tertentu, biasanya diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan ekonomi sering dipandang sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Namun, pertumbuhan tidak selalu identik dengan kemajuan yang merata. Seperti diungkapkan oleh ekonom Joseph Stiglitz, “GDP tells you nothing about sustainability or equality. It’s like grading a school based on the total weight of its students.” Artinya, pertumbuhan yang tinggi tidak otomatis mencerminkan pemerataan kesejahteraan atau kualitas hidup yang membaik. Selain itu angka pertumbuhan yang tinggi sekalipun bisa menyamarkan ketimpangan pendapatan, kemiskinan yang membandel, atau kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan.
Lebih lanjut, berbagai ekonom dan lembaga internasional menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkualitas haruslah inklusif dan berkelanjutan. Inklusivitas berarti pertumbuhan tersebut mampu menciptakan peluang kerja yang layak, mengurangi kemiskinan, dan memperkecil kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat. Sementara itu, keberlanjutan mengacu pada kemampuan ekonomi untuk tumbuh tanpa mengorbankan sumber daya alam dan kualitas lingkungan untuk generasi mendatang. Pertumbuhan yang hanya fokus pada angka agregat tanpa mempertimbangkan distribusi dan dampaknya terhadap lingkungan, seperti yang diutarakan oleh Stiglitz, dapat menciptakan ilusi kemajuan padahal akar permasalahan sosial dan lingkungan masih belum tersentuh. Oleh karena itu, penting untuk melihat indikator lain di luar PDB, seperti indeks pembangunan manusia (IPM), tingkat pengangguran, rasio Gini, dan indikator keberlanjutan lingkungan, untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,87% pada kuartal pertama 2025 memang menunjukkan resiliensi yang cukup di tengah tantangan global, namun perlu dicermati lebih dalam agar tidak terjebak pada euforia angka semata. Ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian utama:
Pertama, kualitas pertumbuhan dan dampaknya terhadap ketimpangan. Meskipun PDB tumbuh, penting untuk melihat sektor mana yang paling berkontribusi pada pertumbuhan tersebut. Jika pertumbuhan didominasi oleh sektor padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja, maka dampak positifnya terhadap pengurangan pengangguran dan peningkatan pendapatan masyarakat luas akan terbatas. Data ketimpangan pendapatan, seperti rasio Gini, perlu dianalisis secara cermat untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini tidak hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat, melainkan juga dirasakan oleh lapisan bawah dan menengah.
Kedua, keberlanjutan pertumbuhan di tengah transisi energi dan isu lingkungan. Indonesia sedang dalam proses transisi menuju energi bersih dan menghadapi berbagai tantangan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan peningkatan deforestasi, polusi, atau eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, justru akan menimbulkan masalah jangka panjang. Penting untuk memastikan bahwa investasi dan kebijakan yang mendorong pertumbuhan juga sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, serta memprioritaskan energi terbarukan dan praktik ramah lingkungan.
Ketiga, partisipasi masyarakat dan inklusivitas ekonomi. Pertumbuhan yang bermakna seharusnya melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk UMKM, petani, dan nelayan. Program-program pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi harus memastikan akses yang adil terhadap modal, teknologi, dan pasar bagi seluruh pelaku ekonomi. Jika pertumbuhan hanya dinikmati oleh korporasi besar atau sektor tertentu, maka akan sulit mencapai inklusivitas yang diharapkan. Partisipasi bermakna juga berarti suara masyarakat didengar dalam perumusan kebijakan ekonomi, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi publik.
Keempat, pengaruh ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global. Angka pertumbuhan positif di tengah ketidakpastian global patut diapresiasi, namun risiko eksternal tetap ada. Fluktuasi harga komoditas global, gejolak geopolitik di berbagai belahan dunia, dan perubahan kebijakan moneter negara maju dapat dengan cepat memengaruhi perekonomian domestik.
Pemerintah perlu terus memperkuat fondasi ekonomi dengan diversifikasi ekspor, memperkuat pasar domestik, dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah untuk memitigasi dampak dari guncangan eksternal.
Singkatnya, angka 4,87% adalah permulaan yang baik, namun bukan akhir dari cerita. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu berfokus pada kualitas, inklusivitas, dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Angka-angka statistik hanyalah cermin, makna sebenarnya terletak pada bagaimana pertumbuhan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir.
(zan)
0 Komentar