PENABEKASI.ID - BUTON TENGAH, Penggusuran lahan dan kebun warga Wakutodi dan Lamalulu Kecamatan Lakudo kabupaten Buton Tengah yang dilakukan secara sepihak oleh Pemerintahan daerah Kabupaten Buton Tengah masih menuai konflik hingga saat ini. Pasalnya penggusuran tersebut dilakukan berdasarkan produk hukum yang diduga cacat hukum dalam pembuatannya yang berakibat merugikan masyarakat sebagai pemilik dan pengelolah lahan dan kebun tersebut. (11/7/22)

Ironisnya, Penggusuran justru dilakukan pada saat pemiilik lahan tengah membersihkan kebun miliknya dan tanpa memberi kompensasi atau biaya ganti kerugian sepeser-pun. Tak hanya kebun dan lahan, Pemerintah melalui dinas Pengerjaan Umum juga menggusur makam-makam warga yang sejak puluhan tahun menempati Wakutodi dan Lamalulu. Penggusuran makam dilakukan tanpa memindahkan terlebih dahulu.

Pemerintah daerah berdalih bahwa dasar hukum penggusuran lahan tersebut adalah akta hibah yang diibuat oleh PPATs saat itu dan lahan tersebut tidak dikelola sehingga harus kembali ke negara.
Namun faktanya pembuatan dan akibat dari produk tersebut yang diduga cacat hukum dimana yang berstatus sebagai pemberi hibah bukanlah pemilik dan pengelolah lahan sengketa yang dimaksud.

“Pemberi hibah menyebut dirinya telah mendapat izin dari tokoh adat yang pada faktanya lahan-lahan tersebut bukanlah tanah ulayat melainkan lahan pribadi kami dan dan bersama warga pemilik yang lain kami sangat keberatan” tegas Ilham, salah satu pemilik lahan asal Desa Matawine.

Ditempat yang sama, Ketua DPK PRIMA Buton Tengah, La Ode Sarimin selaku pihak yang sejak awal mendampingi warga korban menegaskan selain akta hibah juga dilampirkan daftar hadir peserta musyawarah tokoh adat bersama pemerintah desa dan masyarakat tentang letak ibukota kapubaten.
“Artinya disini sangat jelas bahwa tidak ada izin ataupun penghibahan pada saat itu melainkan hanya musyawarah, akan tetapi oleh para pelaku, daftar hadir tersebut justru dijadikan dasar pembuatan akta hibah” terangnya.

Fakta lain berdasarkan pengakuan warga adalah bahwa lahan tersebut telah mulai dikelola warga pemiilik lahan sejak tahun 1939 hingga saat ini dan tidak pernah terhenti. Dijaman orde baru, pemerintahan Soeharto melakukan penertiban pemukiman pada saat itu dengan memerintahkan warga yang bermukim di benteng keraton untuk dipindahkan ke daratan diantaranya Wakutodi dan Lamalulu.

Jadi sejak saat itu leluhur para warga dan warga saat ini memang sudah bermukim dan berkebun disana. Hal tersebut menurut warga dapat dibuktikan dengan adanya pagar batu yang masih ditemui di lahan tersebut sebagai penanda kepemilikan lahan setiap warga yang mana saat itu belum ada sertifikat sebagai alas hak.

Layaknya sumber penghidupan, sejak lama warga telah bercocok tanam di lahan mereka dengan berkebun ubi, jagung dan kebutuhan pangan lainnya hingga saat ini. Selain itu juga ditanami kebun jambu mete. Dengan demikian klaim bahwa penggusuran tersebut dilakukan diatas lahan kosong adalah tidak benar.

Lebih jauh, La Ode Sarimin menegaskan bahwa berdasarkan undang-undang Nomor 15 Tahun 2014 tentang pembentukan kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, pada pasal 7 disebutkan bahwa Ibu Kota Kabupaten Buton Tengah Berkedudukan Di Labungkari Kecamatan Lakudo. Namun faktanya pemerintah daerah mengklaim sampai 400 ha lahan warga termasuk di Wakutodi dan Lamalulu, sangat jauh dari lokasi awal yakni Labungkari.

Untuk mempertahankan hak-haknya, Sejak tanggal 8 Juli 2022, berjumlah 37 orang warga pemilik lahan di Wakutodi dan Lamalulu telah mengangkat kuasa ke Lembaga Bantuan Hukum rakyat SULTRA (LBHR SULTRA) untuk mendampingi dan mewakili kepentingan hukumnya terkait sengketa dan konflik lahan tersebut.

Dikutip dari Wawancara Media ini dengan Direktur LBHR SULTRA sekaligus Advokat penerima kuasa, Muhammad Basri Tahir, S.H berpendapat hukum bahwa Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap perihal akta hibah yang patut diduga cacat hukum yang dijadikan dasar bagi pemerintah daerah buton tengah untuk menggusur, kemudian proses penggusuran yang menelantarkan hak-hak hukum pemilik lahan maka sebagai kuasa hukum kami tentu akan sangat memperhatikan kepentingan hukum warga yang haknya dirampas secara sepihak.

“Dalam waktu dekat atau setidaknya pekan depan kami akan mengajukan gugatan perdata perihal Pembatalan akta hibah yang dimaksud ke Pengadilan Negeri Pasarwajo.” Ucapnya.

Muhammad Basri Tahir, SH. Direktur LBHR Sultra
Namun tentunya, pihaknya tetap membuka ruang komunikasi terbuka. Selaku Kuasa Hukum pihaknya juga telah melayangkan surat pemberitahuan ke Bupati, Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Pengerjaan Umum agar menghentikan segala aktivitas apapun di atas lahan sengketa warga.

Pihaknya juga meminta agar pemerintah tidak menerbitkan alas hak apapun berdasarkan akta hibah yang diduga cacat hukum yang berkaitan dengan pembangunan perkantoran ataupun ibu kota Kabupaten Buton Tengah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau incrah perihal status kepemilikan lahan tersebut.

“Jadi sebagai kuasa hukum kami sangat menyarankan kepada pemerintahan setempat untuk menghentikan segala aktivitas di atas lahan warga, sebab masih ada banyak upaya-upaya hukum yang akan kami terus tempuh sampai hak hukum dan hak hidup warga terpenuhi” ujarnya lagi.

Menurutnya, siapapun termasuk pemda tidak boleh menutup mata bahwa lahan-lahan tersebut adalah sumber penghidupan warga yang oleh konstitusi telah mengamanatkan kepada negara agar setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Jika sumber penghidupan mereka dirampas sepihak maka tentu sebagai advokat pihaknya merasa sangat merasa terusik dan prihatin atas ketidak adilan yang dialami oleh rakyat tersebut. 

(zan)