Oleh : Maulana Malik Ibrahim, S.Ag
Pekerjaan : Guru SMPIT Avicenna Bekasi
Pada tahun 622M atau tepatnya pada peristiwa awal Hijrah Rasulullah Saw yang terjadi pada bulan Rabi'ul Awal tahun 13 Bi'tsah (13 tahun setelah pengangkatan sebagai Rasul). Berangkat pada 2 Rabi'ul Awal dan tiba pada 12 Rabi'ul Awal, baginda Nabi Muhammad Saw bertolak dari Mekkah ke Madinah sebagai upaya penyelamatan dari serangan intimidasi dan kekerasan kaum kafir Quraisy saat itu, serta menjadi pondasi awal kuatnya persatuan ukhuwah Islamiyah yang berdampak pada munculnya kemenangan dan peradaban manusia yang baru lagi mulia sesuai kehendak Allah Swt.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan istilah "Hijrah", Sekaligus dijadikan dasar penanggalan baru dalam sejarah Islam yakni tahun baru Hijriyah yang dibuat oleh Umar ibn Khattab pada tahun ke 2 pada masa Khalifahannya sebagai Amirul Mukminin saat itu.
Itulah sepenggal kisah dibalik sejarah tahun baru hijriah “1 Muharram” yang merupakan momentum luar biasa untuk menapaki kehidupan hijrah nabawi, yakni "Hijrah minal dhulumati illa Nur", berhijrah dari kelam gulita menuju cahaya terang.
Pagi hari ini umat Islam memperingati tahun baru hijriyah yang ke 1442H, dan hal ini momentum untuk merenung atas apa yang telah dijalani selama setahun ke belakang. Kita memutar kembali memori peristiwa kehidupan kita, terlintas segunung capaian yang telah ditapaki, mengoreksi kembali sambil menyusun setumpuk agenda baru yang akan dijalankan di 1 tahun mendatang. Menumbuhkan semangat juang untuk menciptakan memoar baru yang berujung pada suatu harapan yang dibangun dari satu kontemplasi : Tahun depan harus lebih baik ketimbang tahun ini.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang begitu familiar agar selalu mengaktualisasikan diri menjadi kian baik dari hari kemarin, dan hari esok harus kian menjadi baik ketimbang hari ini.
Waktu akan terus bergulir dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad akan terus berganti, seiring umur yang kian merayap tanpa kita sadari bahwa perputaran waktu itu adalah sebuah kepastian.
Lalu, apa esensi 1 Muharram tahun baru Hijriyah itu?
Bulan Muharram bagi umat Islam adalah merupakan starting point peradaban manusia modern yang unggul. Bagaikan antiklimaks dari proses perjuangan hidup penghambaan manusia kepada Sang Maha Pencipta dan proses penghambaan tiada henti inilah yang disebut dengan peradaban.
Sebagaimana firman Allah Swt :
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" (QS. An Nur/24 ayat : 55).
Momentum Hijrah dari Makkah ke Madinah tidak hanya ditandai dengan perpindahan secara fisik saja. Hijrah, secara historis merupakan titik tolak kebangkitan Islam yang merupakan proses transformasi diri, keluarga, bangsa dan negara.
Dari masyarakat yang menolak dakwah kepada masyarakat yang menerima dakwah juga dari rnasyarakat yang selalu bermusuhan kepada masyarakat yang mencintai persahabatan dan cinta damai. Inilah makna yang sebenarnya dari hijrah Rasulullah Saw tersebut.
Subtansi hijrah dalam peringatan 1 Muharram tahun baru Hijriyah, yakni mengajarkan kepada umat Islam agar dapat membangun peradaban dunia Islam pada ketinggian budi pekerti dan ahklak manusia sebagai khalifah di bumi ini. Al Qur’an pun memaknai hijrah itu dengan manifestasi nilai-nilai juang Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga semuanya akan bermuara pada terciptanya masyarakat madani yang selama ini diharapkan, yakni sebuah komunitas masyarakat yang menjungjung tinggi moralitas, inteleketualitas, dan kualitas ajaran Islam kemudian menjadikannya sebagai sumber kekuatan untuk membangun masyarakat modern yang bermartabat, bermoral dan berjiwa Islami.
Namun, ironisnya kehidupan di zaman sekarang ini, perilaku amoral dijadikan tuntunan. Gaya hidup hedonis dijadikan perlombaan para elite dan seringkali esensi semangat berhijrah pada tahun baru Muharram hanya tinggal urusan pilihan busana berpakaian semata, atau perihal mengurangi sentuhan dengan dunia luar saja. Akhirnya makna hijrah menjadi ahistoris dan kehilangan banyak kebermanfaatannya.
Oleh karena itu, seharusnya esensi semangat tahun baru 1 Muharram 1442 Hijriyah adalah upaya semangat berhijrah “Minal dhulumati illa Nuur” sebagai sebuah proses keniscayaan “self transformation” merupakan semangat hijrah dalam konteks maknawi dengan menghilangkan karakter negatif semisal berburuk sangka, putus asa, sombong, riya dan hasad berganti dengan nilai-nilai positif seperti berbaik sangka, optimis, tawadhu, istiqomah, jujur, dan berperilaku adil dalam dalam kehidupan sehari-hari dengan dimulai dari perbaikan diri hingga menyempurnakan tugasnya sebagai khalifah di bumi ini.
Allah Swt berfiman :
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali…” (Qs. An Nisa’/4 ayat : 97).
Wallahu ‘alam bishowab.(Cz)
0 Komentar