![]() |
| Penulis : Iswandi Tahwa |
Penabekasi.id - Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI seharusnya menjadi ruh gerak para kader Himpunan Mahasiswa Islam dalam aspek horizontal (interaksi sosial) dan transendental (hubungan dengan Tuhan). Namun, dalam praktiknya, HMI sebagai organisasi perkaderan sering kali lebih menekankan kualitas pribadi kadernya untuk menjadi "leader" (pemimpin), sambil mengembangkan jiwa "leadership" (kepemimpinan). Ini patut diapresiasi, tetapi kritik muncul ketika kita melihat apakah pendekatan ini benar-benar efektif di tengah tantangan sosial modern, di mana kepemimpinan tidak lagi cukup dengan pembinaan individu semata, melainkan memerlukan adaptasi terhadap struktur sistemik yang korup atau tidak adil.
Dalam terminologi Islam, kepemimpinan disebut "khalifah", yang terbagi menjadi ranah publik (sebagai institusi politik) dan privat (sebagai manusia umum). Setiap manusia adalah pemimpin, sebagaimana sejarah Islam menggambarkan kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai yang paling paripurna, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Namun, transisi ke dinasti Islam menunjukkan pergeseran dari musyawarah (demokratis) ke monarki teologis, yang sering kali menimbulkan kritik: apakah model ini masih relevan di era demokrasi modern? Idealisme sejarah ini bisa membutakan kita dari fakta bahwa banyak dinasti Islam justru gagal menerapkan keadilan, sehingga HMI perlu merefleksikan bagaimana nilai-nilai ini tidak jatuh ke dalam romantisme sejarah yang mengabaikan kegagalan historis.
Manusia sebagai khalifah berarti menjadi "pengganti Tuhan" di muka bumi, dengan potensi dasar ilmu dan kebebasan memilih—melalui rasio, empiris, dan intuisi. Ini mendorong manusia untuk memaksimalkan potensi tersebut, termasuk belajar dari kesalahan. Namun, kritiknya: dalam konteks sosial yang kapitalistik, kebebasan memilih ini sering kali terdistorsi oleh ketidaksetaraan akses, sehingga kader HMI yang berasal dari kelas menengah ke atas mungkin lebih mudah "belajar dari kesalahan" daripada mereka dari lapisan bawah. Apakah HMI cukup kritis terhadap struktur ini, atau justru memperkuat status quo dengan fokus pada individu tanpa mengatasi ketimpangan sistemik?
Dasar kepemimpinan adalah tauhid, yang mengesakan Tuhan dan membebaskan manusia dari belenggu. Esensinya adalah kemerdekaan, tetapi kritik muncul ketika tauhid digunakan untuk membenarkan interpretasi subjektif yang bisa otoriter—misalnya, klaim "kebenaran mutlak" yang menolak dialog dengan pandangan lain. Di era pluralisme, HMI perlu bertanya: apakah tauhid ini mendorong inklusivitas, atau justru menjadi alat eksklusivisme yang menghambat transformasi sosial?
Transformasi sosial, sebagai upaya perubahan menuju keadilan, kesetaraan, dan inklusivitas, sejalan dengan cita-cita HMI membentuk "insan kamil" (manusia sempurna seperti Nabi Muhammad). Namun, secara kritis, manusia biasa tidak akan pernah mencapai tingkat Nabi, sehingga pendekatan ini bisa menimbulkan frustrasi atau perfeksionisme yang tidak realistis. HMI harus mengakui bahwa transformasi sosial bukan hanya tentang individu, melainkan melibatkan perjuangan kolektif melawan sistem seperti korupsi, diskriminasi gender, atau ketimpangan digital. Di era globalisasi, di mana kesalahan manusia diperbesar oleh media sosial, apakah kader HMI benar-benar memaksimalkan potensi mereka untuk perubahan bermakna, atau justru terjebak dalam aktivisme simbolik?
Manusia harus membuat kesalahan, tetapi dengan akal sehat, kesalahan itu menjadi bermakna. Memimpin berarti memaksimalkan potensi Tuhan untuk transformasi sosial. Kritik akhir: HMI perlu lebih kritis terhadap dirinya sendiri—apakah nilai-nilai ini telah menghasilkan pemimpin yang efektif, atau justru kader yang terisolasi dari realitas sosial? Tanpa refleksi ini, spirit HMI berisiko menjadi retorika kosong di tengah krisis seperti perubahan iklim atau ketidakadilan global. HMI harus bertransformasi dari dalam, mengintegrasikan kritik ini untuk menjadi agen perubahan yang lebih kuat dan relevan.


0 Komentar