Muhammad Alfian Toni

Penabekasi.id - Sebagai orang yang lahir dari lingkungan pesantren dan masih menjalankan tradisi pesantren, saya terusik melihat krisis sosial antara Trans 7 dan pesantren. 

Pertama, mungkin kita harus meninjau ulang apa yang dimaksud dengan feodalisme secara teoritis dan empiris. Apakah yg membedakannya dgn tradisi feodal dalam konteks dekolonial? Dalam konteks institusi pesantren, bagaimana peran ‘power relations ‘dan ‘agency’ santri dan kyai dalam melanggengkan atau memodifikasi praktek feodalisme? Apakah terjadi reinterpretasi atas praktek feodalisme di pesantren dalam konteks modern? Jikapun pun masih banyak tradisi yang dianggap feodal itu masih dipraktekkan, apakah itu simbolik atau esensial? Apakah itu menggambarkan hirarki yang tidak memberi ruang sosial, ataukah tetap equal? 

Alih-alih merespon ini dengan cara yang reaktif saya lebih suka membuat catatan2 kecil yang reflektif. 

Pertama tradisi ‘dawuh’ bagi santri adalah proses transfer ilmu sekaligus bentuk apresiasi terhadap Kyai, ustadz, guru yang telah berjasa mentransfer ilmu pengetahuan kepada santri. Bentuk bentuk apresiasi ini sangat beragam. Mungkin bagi sebagian santri, duduk atau menghadap kyai dengan menunduk adalah bentuk penghormatan yang tinggi tanpa mencederai eksistensi santri dan hubungan antara kyai dan santri. Pasti ada power relations dlm bentuk-bentuk penghormatan ini, tapi lebih kepada kontrol ilmu pengetahuan yang lebih spesifik pada ilmu agama (Islam) dan bukan kontrol material. Itupun terbatas pada hal yang terkait Kyai atau guru yang memberi fondasi dasar agama. Praktek ini masih berlanjut ketika santri sdh keluar dr pesantren dan sukses menjadi orang yang mngkin posisi materi ataupun posisi sosialnya lebih tinggi dari sang Kyai. 

Dengan demikian posisi hierarkis sang kyai hanya terbatas pada peran mereka dalam mentransfer ilmu agama yang menjadi fondasi santri untuk mengembangkan dirinya kelak dalam bentuk-bentuk yang sangat beragam. Ini seperti peran guru-guru kita dari Taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. 

Tidak jarang sang santri kemudian menjadi sahabat sang Kyai dimana sang Kyai mendapat feedback untuk innovasi inovasi di pesantren. Di sini terlihat sang santri dan modifikasi relasi kuasa antara Kyai dan santri. 

Bentuk apresiasi pada kyai, ustadz, atau guru ini sangat beragam dan tidak hanya terjadi di pesantren. Di pesantren-pesantren tradisional, praktek seperti duduk dilantai  menghadap kyai yang duduk di kursi dianggap lazim dan tidak mencederai eksistensi sang santri. Di pesantren yg lebih modern, santri tidak lagi duduk dilantai menghadap kyai, tapi mungkin sedikit merunduk ketika menghadap sang kyai. Kita juga sering mendapati cara bersalaman antara kyai dan santri dimana sang Kyai cepat-cepat menarik tangannya sebelum santrinya mencium tangannnya, sementara sang santri tetap merunduk dan mencoba mencium tangan sang kyai. Dalam konteks lain bahkan sang kyai dan santri bs saling berdiri dan duduk di tempat yang sama. 

Mungkin praktek-praktek ini lebih menekankan simbolisme dan tetap memberi ruang untuk memaknai relasi kuasa dalam bentuknya yang lebih equal dan resiprokal. Simbolisme ini juga tetap memberi ruang dialog yang dinamis. Bagi santri, dengan tetap memberikan penghormatan pada sang Kyai, ada koneksi yang tetap terjalin tidak hanya dengan sang Kyai tetapi juga dengan pesantren dan networkingnya yang bisa memberi benefit sosial dan material bagi santri. Barangkali ini yang disebut  sebagai ‘ngalap berkah’ dan sinergi positif antara kyai dan santri.

Muhammad Alfian Toni (Kader Ansor Kota Bekasi), hingga saat ini masih menunjukkan rasa hormat pada guru saya dengan tetap selalu tawadu. Tentu saja ini bukan praktek feodalisme atau colonial bias yang saya alami. Tetapi lebih kepada apresiasi untuk orang yang sudah mentrasfer ilmu pengetahuan kepada saya. 

Dengan demikian, perlu kehati-hatian untuk menyimpulkan praktek praktek seperti ini sebagai bentuk feodalisme, karena ada banyak dimensi sosial yang kompleks dan dinamis yang menyertainya agar tidak salah memaknainya. Minimal, harus ada analisis berimbang dari praktek feodalisme di dalam konteks sosial yang berbeda. Bagi kalangan  pesantren, pesantren sudah memberikan kontribusi yang amat sangat penting bagi Indonesia di bidang pendidikan dari sebelum kemerdekaan. Kontribusi ini masih terjadi saat ini. Bisa dibayangkan bagaimana beban negara untuk memberikan pendidikan bagi rakyat, jika pesantren tidak ada. Tetapi mungkin saatnya pesantren berpikir untuk lebih banyak menampilkan praktek-praktek lain yang lebih terbuka terhadap perubahan dan masih jarang terekspos.

(nik)