Kolom Opini | Resdi Firmansyah Karim
Pidato Perdana di Panggung Dunia
Pada Kamis, 26 September 2024, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto berdiri di podium Majelis Umum PBB ke-79, New York, Amerika Serikat. Itu adalah momen bersejarah—pidato perdananya di hadapan forum diplomatik terbesar di dunia.
Selama kurang lebih 20 menit, Prabowo membentangkan pandangan Indonesia tentang tantangan global: mulai dari perubahan iklim, krisis pangan dan energi, hingga seruan agar bangsa-bangsa besar menghentikan ketegangan militer yang berpotensi memicu perang terbuka.
Namun, publik dunia terhenyak pada satu bagian pidatonya: soal Palestina–Israel. Dengan tegas Prabowo menyatakan Indonesia konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi menambahkan kalimat yang memicu diskusi luas:
“Indonesia akan terus mendukung perjuangan Palestina untuk merdeka. Tetapi kita juga harus jujur menyatakan bahwa keamanan Israel harus dijamin.”
Kalimat itu seketika menjadi sorotan utama, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Apresiasi atas Perspektif Baru
Jika dilihat dari kacamata diplomasi, langkah Prabowo ini sebenarnya patut diapresiasi. Ia mencoba keluar dari pola lama yang hanya berisi kecaman terhadap Israel. Sebaliknya, ia membawa perspektif yang lebih komprehensif: hak Palestina untuk merdeka dan hak Israel untuk hidup aman.
Dalam catatan sejarah pidato para presiden Indonesia di PBB, ini mungkin kali pertama Israel disebut secara eksplisit dalam kerangka “jaminan keamanan”. Perubahan gaya komunikasi ini memberi sinyal bahwa Indonesia ingin naik kelas, dari sekadar “pendukung setia” menjadi mediator potensial dalam isu paling rumit di dunia.
Celah Kritis dan Risiko Polemik
Meski demikian, keberanian ini bukan tanpa risiko. Prabowo tidak menjelaskan bagaimana jaminan keamanan Israel akan diwujudkan, siapa yang menjamin, serta apa syarat agar Palestina tidak lagi terpinggirkan dalam proses politik internasional.
Kekosongan itu menimbulkan pertanyaan kritis: apakah pernyataan tersebut sekadar gesture simbolik, atau ada strategi diplomasi yang matang di belakangnya?
Di dalam negeri, kalangan pro-Palestina bisa menilai sikap ini terlalu lunak. Mengingat dukungan rakyat Indonesia pada Palestina sangat solid, isu ini rawan dipolitisasi.
Di luar negeri, negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) mungkin menghargai konsistensi Indonesia pada Palestina, tapi sekaligus curiga: apakah ini langkah awal menuju normalisasi hubungan dengan Israel?
Dengan kata lain, satu kalimat bisa membuka peluang baru, sekaligus memicu polemik yang panjang.
Tafsir Ulang Politik Bebas-Aktif
Sejak era Soekarno, politik luar negeri Indonesia berdiri di atas prinsip bebas-aktif: bebas dari keterikatan blok, aktif memperjuangkan perdamaian. Amanat konstitusi juga jelas: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Pidato Prabowo dapat dibaca sebagai tafsir ulang atas prinsip itu. Ia tetap menyuarakan solidaritas untuk Palestina, tetapi pada saat yang sama mencoba realistis mengakui eksistensi Israel.
Ini langkah berani. Tapi sekaligus mengundang pertanyaan: apakah ini cerminan diplomasi Indonesia ke depan, atau sekadar retorika di panggung dunia?
Tantangan Konkret ke Depan
Agar pidatonya tak berhenti pada level simbol, Prabowo harus menunjukkan langkah nyata. Ada setidaknya empat hal yang bisa ditempuh:
- Menyusun peta jalan diplomasi yang jelas tentang solusi dua negara, termasuk skema keamanan yang seimbang bagi Palestina dan Israel.
- Memperkuat bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina, khususnya di Gaza dan Tepi Barat, agar komitmen Indonesia tidak dipandang sekadar retorika.
- Membangun konsensus domestik dengan melibatkan DPR, ormas, dan tokoh masyarakat supaya kebijakan luar negeri ini punya legitimasi rakyat.
- Menggalang dukungan multilateral bersama ASEAN, negara-negara Arab moderat, dan PBB, agar posisi Indonesia tidak dianggap sebagai inisiatif sepihak.
Penutup: Strategi atau Kontroversi?
Pidato Prabowo di Majelis Umum PBB pada 26 September 2024 adalah momen penting yang membuka jalan baru bagi diplomasi Indonesia. Ia bisa menjadi pijakan strategis yang menempatkan Indonesia di jantung percakapan perdamaian dunia. Tapi jika tak disertai langkah nyata, pidato itu berpotensi hanya dikenang sebagai “kalimat kontroversial” di panggung global.
Apresiasi layak diberikan karena Prabowo berani keluar dari retorika hitam-putih. Namun, keberanian itu harus segera dibuktikan dengan strategi konkret, agar tidak mengaburkan konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina sekaligus menjaga posisi diplomatik yang sejalan dengan amanat konstitusi.
Pada akhirnya, dunia menunggu: apakah Prabowo mampu menjadikan Indonesia sebagai juru damai sejati, atau sekadar melempar satu kalimat yang menggema sesaat di New York?
0 Komentar