Kota Bekasi- Pemikiran Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-pesan teks Al-Quran dan Hadis selalu mengalami perkembangan. Hal ini tidak lepas dari kondisi dan tuntunan masyarakat yang sarat dengan dinamika. Dalam kaitan ini pula maka peran ijtihad sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan hukum Islam menjadi sangat penting.

Dalam perjalanan sejarahnya, Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Rasulullah saw, kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Peran ijtihad pada masa ini masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah yang secara fundamental bentuk kepercayaan dan pemahaman itu sendiri.

Iman adalah sarana untuk melakukan emansipasi harkat kemanusiaan. Karena se­cara fundamental iman adalah upaya memberikan keamanan dan kesentosaan.

Iman tidak hanya bermakna yakin (believe) semata, namun ia berfungsi sebagai sarana pembebasan diri dari ketergantungan, kesewenang-wenangan, intimidasi, penindasan, penjajahan, dan semacamnya.

Karena itu, sesungguhnya iman menjadi modal dasar penting untuk mem­ben­tuk persepsi kita tentang epos kepahlawanan pada kejayaan islam.

Di sinilah spiritualitas perjuangan harus dilihat sebagai basis kesadaran yang menggerakkan semangat juang para san­tri dan umat untuk segera terbebas dari belenggu penindasan bangsa asing.

Dalam perspektif teologi pembebasan, agama dengan gejala simboliknya harus mampu me­nya­darkan penganutnya dari berbagai bentuk yang berpotensi mengungkung dan membatasi kreativitas kemanusiaan.

Dunia memiliki banyak alternatif belenggu yang menghalangi ma­nusia untuk dekat pada Tuhan. Menggantungkan harapan pada selain Tuhan merupakan salah satu bentuk belenggu yang harus dilepas.

Kesadaran tauhid murni yang dimiliki para u­lama pejuang di masa perang kemerdekaan jelas memiliki power yang tidak terhingga dan sa­ngat sulit dibendung oleh kekuatan penjajah.

Energi kesadaran tauhid ini selanjutnya di­tularkan kepada para santri sehingga setiap gumam dan desahan kalimat takbir yang diu­cap­kan mampu menggetarkan jiwa dan melampaui batas-batas pencapaian perjuangan kema­nusiaan biasa.

HMI sebagai basis sosial kapital yang sangat besar tentu harus menjadikan suatu kesadaran dalam menegakkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan di Indonesia sebagai peran ikhtiar dalam menjunjung tinggi panji-panji islam dengan mengedepankan kedaulatan dan keutuhan bangsa.

Dalam kondisi bangsa yang mengalami ambiguitas dan pesimisme di tengah pandemik Covid-19 di indonesia sangatlah berpengaruh dengan perkembangan dan kemajuan bangsa ini tentu menjadi sebuah tantangan untuk HMI dapat mengambil keputusan yang logis untuk tetap menjaga cita-cita di ujung kepentingan umat dan bangsa.

HMI tentu patut merenungi dan melakukan refleksi secara kontruktif agar dapat menyadari basis kekuatan spiritual yang me­lahirkan kebebasan dan kemerdekaan bangsa ini dengan melihat realitas dan mampu menterjemahkannya dalam sebuah ide gagasan dan bukan hanya tumpukan narasi-narasi kering.

Dan tentu menjadikan konsep dan gagasan itu dapat diaktualisasikan dalam peranan HMI  yang kemudian menjadi produk organisasi yang sejatinya dapat menegaskan kedudukan HMI sebagai anak kandung Umat dan Bangsa.

Tidak boleh ada anak bangsa ini yang melupakan basis kekuatan ini untuk kemudian menafikan sisi-sisi spiritualitas dari setiap na­fas kebangsaan nusantara ini.

Nafas kesadaran religious semua anak bangsa Indonesia adalah nafas spiritualitas yang manunggal dengan nafas kebangsaan secara holistic.

Formulasi kebersamaan, persatuan, dan kerukunan bangsa ini yang terpatri pada konsep Pan­ca­sila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak boleh dirusak oleh kepen­ti­ng­an po­litik, ekonomi, sosial, dan ideologi manapun. (zan)