PENABEKASI.ID - Dalam buku A Call for Revolution (1993), saya mendapatkan kalimat bijak dari sang penulis kritis Amerika Serikat, Martin L. Gross yang mengemukakan: "We live in a world in which politics has replace philosophy" (Kita hidup di sebuah dunia dimana politik telah mengganti filsafat). Tentunya politik yang dimaksud Gross tersebut adalah dalam perspektif instrumentalisme atau pragmatisme dan bahkan Machiavellianisme. 

Apa yang dikemukakan oleh Gross tersebut sama dengan apa yang sedang terjadi dalam lanskap kehidupan politik di negeri kita saat-saat ini. Tentunya lanskap tersebut sangat berbeda jauh dengan lanskap politik di era kemerdekaan dimana para founding person (para pendiri bangsa) dan para tokoh muda bangsa lainnya pada waktu itu berpolitik selalu dilandasi oleh pandangan filosofis.

Resiko terbesar dari generasi yang tidak memahami filsafat adalah generasi yang rentan (vulnerable generation), karena mereka tidak memiliki kemampuan berpikir kirtis dan radikal (sampai pada akar permasalahan). Absennya filsafat dalam kehidupan generasi yang seperti dikemukakan oleh Gross tersebut ditandai dengan gaya berpikir yang instan –dengan demikian mereka bisa disebut juga sebaga generasi instan (instant generation), mirip dengan produk-produk pasar yang dikonsumsinya yaitu produk-produk instan. Dalam perspektif psikologi behaviorisme, tentunya, lingkungan membentuk perilaku –lingkungan instan sudah pasti membentuk cara berpikir instan.

Wajar saja, ketika hoaks dan rekan-rekannya mensaturasi atau membanjiri ruang publik (public sphere) media sosial dalam Pemilu Serentak 2019, pemilih mudah sekali terpolarisasi dengan tajam dan bahkan terjebak dalam lingkaran setan (devil’s circle) yaitu tidak sekedar berkomunikasi tidak etis (unethical communication), tetapi juga tindak pidana dalam internet (digital crime atau cybercrime). Itulah bukti bagaimana bahayanya cara berpikir instan dimana penerima informasi dengan mudah terpersuasi dan bahkan terkultivasi. 

Dengan demikian, generasi instan ditandai pasivitas dalam penerimaan informasi dan agresivitas dalam bertindak sesuai dengan informasi yang diterimanya. Ketika mereka menjadi khalayak media massa atau pengguna media sosial, mereka adalah khalayak/pengguna pasif dan reaktif dimana mereka tak berdaya menolak dan hanyut dalam arus deras pesan-pesan destruktif. Oleh karena itu, penerimaan informasi mereka dapat dianalogikakan seperti jarum suntik yang menyuntikan cairan ke dalam tubuh. 

Transformasi Menjadi Generasi Berliterasi

Generasi instan dapat mengabrasi dan mendestruksi demokrasi kita. Tentunya ini sangat bertentangan dengan negara kita yang sedang mengkonsolidasikan demokrasi agar Indonesia menjadi negara demokrasi yang tangguh dan mantang. Marilah kita bersama-sama berkolabirasi untuk segera transformasikan generasi instan  tersebut menjadi generasi yang berliterasi (baca: berpengetahuan dan kritis atas informasi yang diterima). 

Mengapa demikian? Karena generasi instan tidak hanya berbahaya bagi kehidupan individualnya sendiri, tetapi juga berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi kini adalah tahun-tahun konsolidasi jelang penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 dan Pemilihan Serentak Nasional 2024 yang nanti berpotensi masih dalam bayang-bayang politik pascakebenaran (post-truth politics), karena dahulu di Pemilu Serentak 2019, politik pascakebenaran dilengkapi dengan propaganda komputasional berbasiskan semburan kebohongan (“firehose of falsehood” based computational propaganda). Di 2024, potensi politik tersebut dimainkan kembali para Machiavellian terbuka lebar, karena mereka memiliki tujuan merusak citra atau dereputasi para komptetitor politiknya ataupun pihak-pihak yang dibencinya. 

Itulah alasan kenapa kita harus berfilsafat, karena tidak sekedar menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi juga untuk kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara. Di negara demokrasi seperti Indonesia kita, kita adalah rakyat yang berdaulat seperti terdeskripsi secara eksplisit (muhkamat) dalam konstitusi. Dengan berpikir filosofis, mari kita lindungi diri. Mari kita persuasi diri kita agar menyukai filsafat, apalagi khususnya bagi generasi muda atau millenial yang terkategori digital natives (pribumi digital), bahkan digital freak (penggila digital), yang kesehariannya selalu bersama internet dan media sosial. 

Mari lah kita ingatkan kembali siapa diri mereka yang sebenarnya, karena konstitusi sangat memuliakannya. Tidak ada negara, tanpa kedualatan rakyat. Mengenal diri sendiri adalah cara paling mudah dalam berfilsafat. Mari kita ajak mereka memahami kedaulatan yang melekat pada dirinya tersebut. Seperti kata Aristoteles, “knowing yourself is the beginning of all wisdom”. Mengenal siapa diri kita adalah awal dari semua kebijaksanaan hidup. Sudah kah kita berdaulat? Itulah sebuah pertanyaan reflektif untuk kita semua. Hanya yang mau berfikir filosofislah yang akan bisa mendaulatkan dirinya. Apalagi mau belajar filsafat eksistensialisme seperti dikemukakan oleh Jean Paul Sartre.

Sebenarnya berfilsafat tidak cukup mengenal diri sendiri (cognitive stage), tentunya harus dilanjutkan dengan merubah diri (behavioral stage). Leo Tolstoy, sastrawan Rusia, pernah mengemukakan kalimat kritik, yang bisa jadi itu dialamatkan pada diri kita semuanya. Tolstoy berkata “Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself”. Jadi dengan demikian, merubah diri adalah bagian penting dari berfilsafat. Filsafat sudah pasti akan mengarahkan kita pada perubahan diri progressif.

Berfilsafat untuk Sukses

Bagi generasi yang mencintai filsafat biasanya memiliki kemampuan untuk berpikir logis, menganalisis dan memecahkan masalah dengan benar, dan juga menulis dan berbicara dengan menarik. Dengan demikian, kemampuan berfilsafat sangat dibutuhkan bagi siapapun yang ingin sukses dalam karirnya, termasuk dalam dunia professional. Jadi berfilsafat tidak hanya persoalan kewargaan (civic matters) seperti terdeskripsi singkat di atas, tetapi ini persoalan bagaimana kita dapat mengelola hidup dengan benar dan bahkan bagaimana kita mencapai obsesi kesejahteraan. 

Siapa yang tidak mengenal Steve Jobs, pengusaha superlatif, yang menciptakan produk canggih yang mengubah dunia, dan bahkan mengubah identitas sosial pengguna produknya tersebut. Jobs adalah salah satu pengusaha-filsuf (a businessman-philosopher) dan juga sang filsuf (the philosophy). Filsafat menjadi kunci sukses binis Jobs yang berbasiskan pada kreativitas tingkat tinggi, dan bahkan Jobs sendiri pernah mengemukakan bahwa teknologi itu adalah seni. Tidak ada orang memiliki kemampuan seni, tanpa kemampuan filosofis, karena seni adalah bagian dari aksiologi filsafat. 

Ayo kita berfilsafat? Jangan biarkan diri kita menjadi generasi instan? Marilah kita jadikan berfilsafat sebagai cara kita hidup, seperti yang dikemukakan oleh Pierre Hadot dalam bukunya Philosophy as a way of life (1995). 

Marilah kita gunakan filsafat untuk semua sisi kehidupan kita mulai dari jalan kaki yang menjadi keseharian kita, seperti dikemukakan oleh Frederic Gros dkk dalam bukunya “A Philosophy of Walking” (2015); tertawa atau humor, seperti dikemukakan oleh John Moreall dalam bukunya “The Philosophy of Laughter and Humor” (1986) –apalagi kini kita harus banyak tertawa agar imunitas kita terus terjaga dan meningkat di tengah pandemi Covid-19; dan bahkan sampai pada urusan sepak bola, seperti dikemukakan oleh Stephen Mumford dalam bukunya “Football: the Philosophy Behind the Game” (2019).

Selamat berfilsafat. Bagi yang tidak mau berfilsafat, siap-siap diperdaya oleh para Machiavellian dan bahkan rela hidup dalam ancaman demagog. Berfilsafat berarti memerdekakan diri.
(red)