Penabekasi.id - Jakarta, Atmosfer perpolitikan di Indonesia kembali memanas pasca terjadinya Kongres Luar Biasa (KLB) ditubuh Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatra Utara pada 5 Maret 2021 yang berindikasi kuat pada pelengseran Agus Harimurti Yudhoyono dari kursi ketua umum. 

Dugaan ini semakin diperkuat melalui ungkapan Darmizal selaku mantan politikus partai demokrat, bahwa Partai Demokrat harus dipimpin oleh seseorang yang egaliter, terbuka dan tidak suka pencintraan maupun playing victim. 
Lebih lanjut dirinya tidak menghendaki penurunan suara selama dua pemilu terakhir, sehingga berpotensi pada gugurnya Demokrat di pemilu 2024 mendatang. 

Namun apakah hal tersebut berdampak baik dan sesuai dengan konsep demokrasi internal partai dan adakah keterlibatan elit politik dengan bandar didalam pelaksanaan KLB partai demokrat?
Merujuk pada konsep demokrasi internal partai yang secara sederhana diartikan sebagai sederhana demokrasi partai secara internal dapat diartikan sebagai proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan untuk melaksanakan fungsi partai secara terbuka, partisipatif, dan deliberatif berdasarkan peraturan perundang-undangan, AD/ART, dan peraturan partai. Giulia Sandri (2011) menyatakan jika demokrasi internal partai dapat meningkatkan partisipasi anggota dalam kegiatan partai dan meningkatkan kuantitas pemilih. 


Tentu hal tersebut sangat kontradiktif dengan kondisi partai Demokrat sekarang dimana presentase pemilih mengalami penurunan dari 20% di pemilu 2004 menjadi 7% pada pemilu 2019. Selain itu, ketidakterbukaan AHY sebgaimana ujaran Darmizal menyebabkan partisipasi anggota yang tidak solid atau bahkan saling sikut menyikut antar kader partai yang puncaknya dengan berlangsungnya KLB Partai Demokrat.


Berdasarkan perundang-undangan yang mengatur tentang demokrasi internal partai pada UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan kedaulatan partai politik berada ditangan seorang kader dan berpacu pada AD/ART. 

Hal ini menjadi ambiguitas bagi partai Demokrat mengingat AD/ART kongres V 2020 banyak yang mempertentangkan keabsahannya, seperti mantan kepala kantor partai demokrat Muhammad Rahmat karena dinilai tidak melibatkan keseluruhan anggota yang tentunya bertolak belakang dengan Perpu yang menyatakan kedaulatan partai dipegang oleh anggota.

Robert Michels (2001), seorang teoritisi tentang Iron Law of Oligarchy, menyatakan bahwa organisasi politik yang berlingkup besar seperti partai politik, bahkan setiap organisasi besar, cenderung dikelola secara oligarkis yang lebih melayani kepentingan sendiri daripada kepentingan organisasi. 

Beliau menggambarkan jika sosok pemimpin secara formal dipilih baik oleh  dan akuntabel kepada para anggota. 
KLB partai demokrat tidak selamanya bernilai positif, apabila diukur melalui keterbukaan anggota sebagaimana pasal 15 Perpu No. 12 tahun 2011 maka terdapat sebagian besar perwakilan DPC maupun DPD partai Demokrat yang menolak hadir pada KLB di Deli Serdang, sehingga pembahasan AD/ART hingga pemunculan sosok Moeldoko sebagai ketua umum pemenang di KLB secara konstitusional tidak sah.

Berangkat dari ulasan diatas tidak bisa dipungkiri jika tetdapat keterlibatan dari beberapa pihak baik pemerintah itu sendiri atau swasta yang menghendaki kehancuran demokrat atau mengarahkannya pada sistem oligarki yang hipokrit. 

Indikasi itu tidak bisa dipungkiri melihat track record partai demokrat yang mulai menjadi barisan oposisi di parlemen yang menimbulkan kekhawatiran dari segilintir elit untuk pemilu yang akan datang serta hambatan dalam mega proyek yang bersifat destruktif semacam pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.(CJ)