Pendahuluan 
Globalisasi telah membuka kesempatan luas pada perjumpaan dan percakapan manusia dari berbagai wilayah. Globalisasi juga menghasilkan organisasi beragam yang membuat kita tidak dapat menghindarinya, melainkan beradaptasi dan berkolaborasi terhadap keberagaman itu sendiri. Sebagai salah satu dampak dari globalisasi, kini dunia tengah berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan integrasi kuat antara dunia digital dengan produksi industri. Pendidikan pun menjadi salah satu ranah yang  terkena dampak global dan kemajuan revolusi ini. Guru dan siswa dituntut bukan lagi sekadar tahu dan fasih dalam pengetahuan, namun juga mampu mengintegerasikan pengetahuan, kemajuan digital, serta pengembangan karakter yang dapat membangun kehidupan. Pendidikan juga harus membuka mata pada urgensi keberagaman budaya dan organisasi yang akan dijumpai oleh siswa menengah atas (SMA) setelah mereka lulus. 
Tentu ketika kita berbicara keragaman budaya, bukan semata mengarah pada artefak seperti baju adat, rumah adat, jenis makan hingga tarian tradisional. Lebih dari itu, menurut Roosseau dengan menggunakan model sebuah bawang untuk menggambarkan kebudayaan, ia menjelaskan lapisan paling luar menerangkan tentang elemen budaya yang mudah sekali berubah atau yang biasa kita kenal dengan produk-produk artefak. Lapisan tengah menggambarkan values/norma sebagai hasil dari filosofis yang dipegang dan lapisan inti memuat filosofi secara implisit yang mengandung banyak makna. Singkatnya, Roosseau menerangkan bahwa budaya adalah sebuah keyakinan dan filosofis ideal yang menggerakan perilaku manusia (Roosseau, 1995). 
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sejak SD hingga SMA siswa di Indonesia tidak mengalami kehidupan multikultur, namun jika kita melihat pada proses dan tuntutan global yang pesat, pertemuan antar budaya dengan negara asing tidaklah terhindarkan, apalagi di dunia kerja. Indonesia sendiri menjadi satu negara yang memiliki daya pikat kuat oleh pekerja asing. Hal ini berimbas semakin besarnya pekerja asing yang datang dan bekerja sama dengan Indonesia. 
Di samping itu, menurut Carol Olsby, seorang konsultan sumber daya manusia mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan masa kini tengah mencari sumber daya manusia (karyawan) yang memiliki pengalaman dan keterampilan dalam komunikasi antar budaya (Collier). Pengalaman dan keterampilan ini memberi profit yang besar bagi perusahaan. Artinya, di dunia yang semakin maju, keterampilan komunikasi antar budaya memberi dampak besar untuk memajukan sebuah bangsa.
Maka menyikapi hal ini, salah satu alternatif yang saya usulkan adalah program peningkatan jumlah siswa lulusan SMA di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di universitas terkemuka dan berkualitas di luar negeri. 
Menempuh proses pendidikan di luar negeri memiliki sejumlah manfaat di antaranya adalah memperoleh pengetahuan dan pengalaman internasional, menjadikan individu lebih mandiri, mendapatkan bidang studi yang lebih spesifik untuk kebutuhan industri, memperoleh manfaat belajar yang lebih berfokus pada praktik dan riset, fasih berbahasa asing, dan lebih dari itu individu dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi lintas budaya dan negara, sehingga memperlengkapi individu untuk berkolaborasi dalam skala internasional (SUN Education Group, 2020). 
Indonesia kini memang menempati posisi ke 22 di dunia yang mengirimkan mahasiswa belajar ke luar negeri, meski demikian Indonesia masih dikalahkan oleh Malaysia , India dan Vietnam yang lebih banyak mengirimkan pelajarnya ke luar negeri. SMA X  yang menjadi tempat saya bekerja misalkan, memiliki data sebagai berikut; tiga tahun terakhir (2018-2020) tercatat siswa yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri hanya berkisar 2-4.5 % (2-9 siswa) dari rata-rata jumlah siswa keseluruhan per angkatan yaitu 178-210 siswa. Padahal menurut hemat saya, SMA X dengan sekolah basis ilmu dan karakter yang kuat dapat mendorong dan mengirimkan siswa-siswi lebih banyak melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.  Sejalan dengan itu, Totok Suprayitno, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud RI menyuarakan hal yang serupa, “bahwa tantangan pendidikan siswa di abad 21 adalah membekali siswa dengan beragam keterampilan di antaranya adalah critical thingking, creativity, collaboration, dan communication.” (Harususilo, 2019)Untuk menjawab hal itu, Totok mendukung agar semakin banyak siswa yang berani menempuh proses pendidikan di luar negeri. 

Intercultural Competence
A.1 Pengertian dan Pentingnya Intercultural Competence
Melihat kemajuan yang besar dari globalisasi, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan komunikasi antarbudaya pun benar-benar harus diperhatikan dan ditingkatkan.  Kompetensi dipahami sebagai sebuah kecakapan atau kemampuan. Individu yang kompeten dalam komunikasi artinya ia dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Intercultural Competence adalah kemampuan untuk mengomunikasikan secara efektif dan tepat dalam situasi antarbudaya yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku (Deardoff, 2009). Alexander Thomas mengungkapkan kecakapan antarbudaya bukan berhenti pada pengetahuan/ranah kognitif, melainkan ia harus berwujud pada keterampilan. Hofstede pun menerangkan hal serupa yaitu, agar seseorang dapat mahir dalam berkomunikasi antarbudaya , ia harus melalui tiga tahapan, yaitu awareness, knowledge, dan skills (Hofstede, 2001). Dalam penelitian yang lebih mutakhir, banyak pakar mengklasifikasikan kompetensi antarbudaya menjadi dimensi, yaitu afektif, kognitif dan perilaku (Fritz dan Graf, 2005). 
Chen dan Starosta (2008) menawarkan sebuah model kompetensi komunikasi antarbudaya. Model ini bertujuan untuk meningkat kemampuan interaksi dalam memahami, menghargai, mentoleransi, dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga setiap individu siap menjadi menjadi anggota masyarakat secara global. Model yang dikembangkan Chen dan Starosta dapat kita lihat dalam tiga persektif berikut; (a) affective atau sensitivitas antarbudaya; (b) cognitive atau kesadaran antarbudaya; dan (c) behavioral atau kecakapan antarbudaya. Ketiga perspektif ini akan membentuk integrasi holistik, sehingga seseorang tidak lagi menjadi gagap melainkan mampu bersinergi dengan orang yang berasal dari budaya dan negara asing di ranah global. 
The affective process (intercultural sensitivity) yang meliputi konsep diri adalah sebuah cara seseorang memandang dirinya. Individu dapat melihat, apakah ia memiliki pemikiran terbuka pada budaya lain, tidak berprasangka buruk, dan social relaxation sebagai kemampuan untuk mengontrol kecemasan emosi ketika berkomunikasi antarbudaya. Kedua,  The cognitive process (intercultural awareness), meliputi self awareness  (kesadaran diri sendiri) dan cultural awareness (kesadaran budaya). Ketiga, The Behavioral Process: Intercultural Adroitness (Communication Skills) meliputi; kemampuan untuk menggunakan bahasa orang lain secara tepat, appropriate self-disclosure adalah pengungkapan diri yang layak dalam konteks yang dijumpai, behavioral flexibility adalah kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang berbeda, interaction management merupakan kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak, serta social skills (empati).
Melihat pemahaman Intercultural Competence dan perspektif di atas, maka tidak berlebihan jika saya menuliskan bahwa kecakapan ini penting dibangun sedini mungkin sebagai bekal generasi Indonesia untuk berjumpa, berkolaborasi, serta berintegrasi dengan orang-orang dari belahan dunia. 

Culture Learning
B.1 Membangun dan Meningkatkan Cultural Learning melalui Perjumpaan Langsung
Pembelajaran berbasis antarbudaya menjadi sangat penting sebagai respon pesatnya perkembangan globalisasi. Memperlengkapi generasi Indonesia agar  tidak gagap dan memiliki keterampilan komunikasi antarbudaya dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengirimkan siswa SMA untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Seperti yang saya uraikan di atas, minat siswa Indonesia melanjutkan pendidikan ke luar negeri memang meningkat setiap tahunnya, namun peringkat Indonesia dalam mengirimkan siswa ke luar negeri masih di bawah Malaysia, India dan Vietnam. Tentu ada penyebab yang menarik untuk dikaji, selain permasalahan biaya pendidikan dan biaya hidup selama berkuliah. Permasalahan lainnya yang tidak kalah penting adalah ketidaksiapan siswa Indonesia untuk berjumpa, berelasi hingga berintegrasi dengan orang-orang dari negara dan budaya lain. 
Seperti yang diungkapkan Chen dan Starosta, kemampuan untuk berelasi, berkomunikasi dan mampu berintegritas antar budaya dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu affective, cognitive, dan behavioral. Seseorang untuk dapat sampai pada sensitivitas dan perilaku cakap antar budaya tidak cukup hanya mempelajarinya dari sumber literatur tertulis mau pun digital. Ia perlu berjumpa langsung pada kondisi dan konteks perbedaan budaya tersebut. Apa yang saya maksud? Secara sengaja saya akan menguraikan kisah singkat kemajuan pendidikan di negara maju. 
Kemajuan peradaban dari beberapa negara maju disebabkan oleh kesadaran untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Amerika Serikat (AS) misalkan, demi melengkapi pengetahuan mereka tentang peradaban Barat, banyak dari pelajar AS berbondong-bondong mengunjungi pusat peradaban Muslim dan Yunani. Begitu pun umat Muslim, mereka tidak segan-segan mendatangi pusat kejayaan filsafat Yunani. Tidak mau kalah, Jepang juga negara maju yang dulu menyadari ketertinggalannya dari negara Barat. Itu sebabnya melalui Restorasi Meiji pada tahun 1868-1912, Jepang mengirimkan ratusan ribu pelajar lokal ke AS dan Eropa (Sasongko, 2017). Dampak besarnya pun kita bisa lihat hingga saat ini. 
Menariknya dalam perjumpaan budaya Barat dan Timur ini tidak serta merta membuat para pelajar melupakan budaya mereka. Justru yang terjadi banyak dari pelajar yang kembali pulang ke negeri mereka, mengombinasikan dan mengintegrasikan nilai-nilai serta keyakinan dua budaya sebagai dasar dan pandangan mereka membangun serta mengembangkan teknologi, infrastruktur serta peradaban yang menopang kehidupan. Itu sebabnya hingga kini kita pun dapat merasakan dampak kemajuan tersebut baik dari negara Barat seperti AS dan Eropa mau pun dari negara Timur seperti Arab yang memiliki keterampilan apik dalam mempertahankan keunikan perabadan Islam dan pengelolaan sumber minyak. 
Barangkali di antara kita ada yang kurang sepakat dengan mengatakan, “bukankah sekarang kemajuan digital dan adanya internet dapat menolong kita melihat berbagai belahan dunia?” Tentu pernyataan tersebut tidak keliru, namun hal yang tidak didapatkan dari sumber digital adalah proses interaksi. Proses interaksi ini akan mempertemukan seseorang pada cara hidup, pola pikir, cara pandang yang berbeda dari apa yang selama ini dipahami. Cerita yang saya dapat dari seorang dosen Psikologi Temu Budaya, yaitu Ibu Murni menuturkan demikian, “banyak mahasiswa Indonesia yang ketinggalan dalam proses akademik mereka, bukan karena mereka tidak pintar, melainkan syok dan merasa tertekan ketika mengalami proses di kelas yang diwarnai keaktifan mahasiswa lain dan perdebatan . Dengan mudahnya, para mahasiswa dari negara lain mengajukan pertanyaan dan kritik dengan keras, namun ketika di luar kelas, mereka kembali tertawa.” Kekejutan mahasiswa Indonesia tersebut disebabkan latar belakang pendidikan yang selama ini ia jalani yaitu, suasana yang santun, memakai kata-kata yang baik, tidak bernada tinggi dalam memberi pendapat dan sebagainya. Akhirnya mahasiswa tersebut berpikir bahwa proses pendidikan di luar negeri begitu menegangkan dan keras. Ia beranggapan, komentar yang begitu banyak dan bernada tinggi tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan pada dirinya, padahal tidak demikian. 
Negara-negara maju seperti Australia, AS dan Eropa bercorak low context communication. Artinya, dalam standar budaya mereka, berbicara haruslah langsung pada poinnya, tidak berbelit-belit, dan secara eksplisit (Hofstede&Hofstede, 2010). Itulah tidak mengherankan jika kita melihat orang-orang Barat jika berbicara sangat to the point. Sebaliknya,  Indonesia dengan corak komuniksi yang high context, komunikasinya implisit, tidak langsung pada tujuan pembicaraan, mengupayakan penggunaan bahasa yang santun, serta memerhatikan nada bicara. Inilah yang membuat mahasiswa dalam kasus di atas mengalami culture shock.  
Pengalaman demikianlah yang tidak akan akan kita jumpai pada sumber digital atau pun literatur tertulis. Interaksi langsung dengan sumber kebudayaan dan pengetahuan itu sendiri membantu kita untuk memiliki pengetahuan, sensitivitas, serta kecakapan dalam komunikasi antar budaya. Tidak hanya itu, pengalaman belajar di luar negeri dan bertemu dengan orang dari berbagai budaya juga akan menumbuhkan pemikiran global yang lebih terbuka, toleran terhadap perbedaan, dan menyerap budaya lain yang positif. Seperti yang pernah dicita-citakan oleh Alm. Presiden B.J Habibie, “kelak jika generasi Indonesia menjadi pemimpin, maka mereka akan memiliki kepercayaan diri, tidak minder, dan tidak takut bertemu dengan siapa pun (Susongko, 2017).

Pengembangan Program: Penyediaan Beasiswa, Pelatihan Antar Budaya hingga Pendampingan
Soekarno dan Habibie pernah menggalakkan program pengiriman pelajar Indonesia ke luar negeri secara besar-besaran. Hal ini merupakan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Dengan mengirimkan para pelajar Indonesia ke luar negeri, dipercaya dapat membangun kehidupan tanah air menjadi lebih baik, sehingga cita-cita ideal yaitu Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dalam kancah dunia dapat terwujud. Senada dengan cita-cita itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menuturkan dukungan sebagai berikut, “dengan belajar di luar negeri, mahasiswa dapat menimba ilmu, pengalaman, membangun jaringan dan mengenalkan budaya tertentu.” (Kinasih, 2020). Artinya, tidak diragukan lagi dengan mengirimkan sebanyak-banyaknya pelajar Indonesia ke luar negeri, akan berdampak pada kemajuan sumber daya manusia di Indonesia.
Oleh karena dampak positif yang besar didapatkan dari menempuh pendidikan di luar negeri, maka program yang tepat dan mewadahi perlu disediakan. Program-program tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat Pemerintah pusat hingga orang tua siswa. Pemerintah sudah saatnya gencar menggaungkan program dukungan berupa beasiswa hingga pelatihan komunikasi antar budaya yang dibutuhkan. Penggaungan ini juga dapat diteruskan pada guru-guru dan orang tua siswa. Artinya, kompetensi guru-guru harus diperlengkapi dengan kesadaran antar budaya dan perkembangan zaman yang terus berubah. Begitu pun orang tua siswa diberi keyakinan bahwa anak-anak mereka adalah penerus bangsa yang dapat terampil memimpin bangsa ini di kancah global.
Selain itu, Pemerintah atau perusahaan Swasta dapat membiayai lembaga tertentu guna memfasilitasi program pengembangan kecakapan antar budaya. Keterampilan komunikasi antar budaya memberi pengaruh besar dalam mensukseskan proses belajar di luar negeri. Sayangnya, di Indonesia, pelatihan dan pendampingan semacam ini masih sulit dijumpai dan berbiaya tinggi. Menyikapi hal tersebut, dengan adanya program LPDP yang disediakan pemerintah, alangkah lebih baik program tersebut bukan hanya pemberian beasiswa namun juga diperkaya dengan   penguraian informasi, cross cultural fellowship hingga pendampingan berlanjut. Penguraian informasi sejauh ini telah banyak dikembangkan, yaitu melalui pameran pendidikan. Saat pameran, banyak lembaga konsultasi pendidikan serta perwakilan kampus menyediakan layanan seputar informasi terkait kuliah di luar negeri. Tidak hanya berupa uraian lisan, para peserta pameran pendidikan juga menyediakan beragam pamphlet, brosur, serta presentasi guna meyakinkan para pelajar untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Di pameran ini, maka para pelajar sebaiknya membuka diri untuk menggali dan bertanya sebanyak-banyaknya terkait keunggulan universitas, biaya pendidikan, program beasiswa, penyediaan unit penelitian, biaya hidup selama belajar di luar negeri, hingga seberapa banyak hasil riset universitas yang dibuat dan telah menyumbang banyak pada pembangunan kehidupan. 
Kedua, guna menolong agar pelajar Indonesia tidak gagap dan mengalami culture shock yang besar di awal adaptasi, saya mengusulkan cross cultural fellowship. Program ini berisikan sejumlah pelajar yang hendak belajar ke luar negeri dan narasumber yang dapat memberikan pelatihan komunikasi antar budaya. Pelatihan seperti ini masih jarang diberikan di Indonesia, padahal tujuan dan manfaatnya sangatlah penting. Melalui program ini, pelajar yang akan ke luar negeri terlebih dulu akan dibangun kesadarannya terhadap perbedaan budaya yang akan dijumpai. Itu sebabnya di dalam komunitas ini, pelatih yang mumpuni dan sudah lebih dulu punya pengalaman dan relasi dengan orang di luar negeri memfasilitasi pelajar Indonesia. Fasilitas tersebut meliputi pemaparan antar budaya, filosofi dan nilai yang dihayati, sejarah negara tersebut, hal-hal yang dihargai dan dianggap tidak semestinya, budaya standar negara yang akan dikunjungi, iklim cuaca, kelaziman dari warga negara yang akan dikunjungi, serta beragam cara efektif yang dapat dilakukan ketika berhadapan langsung dengan perbedaan budaya tersebut. Proses ini dapat menolong perspektif kognitif pada calon mahasiswa. 
Selanjutnya, untuk menumbuhkan kesadaran antar budaya, dapat menggunakan case study learning. Jadi di dalam pelatihan ini, pelatih memberikan berbagai kasus pertemuan budaya, lalu pelajar secara berkelompok membuat solusi kreatif atas kasus yang dihadapi. Secara tidak langsung, melalui case study ini, pelajar yang akan ke luar negeri dibangun kesadarannya tentang antar budaya. Setelah itu, pelatih dapat mengonfirmasi, mengoreksi juga mengusulkan berbagai upaya yang relevan terkait kasus yang dijumpai. Program pembelajaran ini tentu akan membangun kesadaran antar budaya. 
Program berikutnya adalah pendampingan berlanjut. Keberhasilan pelajar Indonesia yang keluar negeri tidak serta merta dipengaruhi oleh kemampuan bahasa dan akademis mereka, tetapi juga pendampingan yang mendukung dan menguatkan pelajar. Pendampingan ini adalah upaya berlanjut dari pelatihan antar budaya. Di dalamnya, pelatih menyediakan layanan sharing experience dari pelajar yang sedang belajar di luar negeri. Metodenya meliputi penulisan jurnal pribadi (berisi catatan setiap pertemuan budaya yang mengakibatkan culture shock yang besar, kesulitan adaptasi yang masih dihadapi, hingga kecemasan yang dirasakan), grup diskusi, serta layanan konseling untuk mengatasi kecemasan yang dirasakan. Tentu ini adalah upaya yang baik untuk menolong dan membangun kepercayaan diri serta kesejahteraan psikologis pelajar Indonesia yang jauh dari keluarga mau pun orang terdekat mereka. 
Simpulan  
Indonesia adalah negara yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam (SDA). Untuk mengelola SDA tersebut, maka diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, berwawasan luas, mampu memimpin secara global serta cakap dalam berkomunikasi antar budaya. Jika negara-negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang berhasil memajukan bangsanya dengan cara mengirimkan pelajar ke pusat peradaban dunia, maka Indonesia pun tidak perlu ragu melakukan hal tersebut. 
Mengirimkan pelajar Indonesia ke luar negeri tidak berarti akan memudarkan nasionalisme seseorang. Kita berkaca pada Habibie misalkan, beliau mempelajari kemajuan peradaban dan teknologi di Jerman. Secara apik dan kreatif, beliau mengombinasikan kemajuan bangsa modern tersebut dengan nilai luhur Indonesia. Itu sebabnya, ia mengabdikan dirinya bagi pembangunan bangsa ini. 
Justru belajar ke luar negeri akan memberikan pengalaman yang tidak dapat diperoleh melalui literatur cetak mau pun digital. Pengalaman itu adalah perjumpaan dengan budaya berbeda,  mengalami culture shock dan berusaha berdaptasi, jatuh bangun bertahan di tengah perbedaan budaya dan iklim, dan sebagainya, sehingga keterampilan komunikasi antar budaya pun terbentuk. Di mana keterampilan ini menjadi salah satu hal penting mewujudkan efektivitas komunikasi serta mampu menciptakan kerja sama pada ranah global. 
Berdasarkan penelitian dari McKinsey, menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki karyawan dari berbagai budaya dan memiliki keterampilan komunikasi antar budaya lebih unggul menghasilkan profit (Collier). Itu sebabnya perusahaan-perusahaan memperlengkapi karyawan mereka dengan pelatihan kompetensi antar budaya, monitoring hingga mengirimkan karyawan ke negara lain. 
Oleh sebab itu, untuk mendukung kemajuan bangsa Indonesia, Pemerintah sudah saatnya menggaungkan program belajar ke luar negeri menjadi salah satu alternatif. Begitu pun dengan sekolah dan orang tua siswa baiklah menyambut program ini dengan meyakinkan putera-puteri mereka untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA ke universitas-universitas terbaik dan berkualitas di luar negeri. Program itu meliputi pemberian beasiswa, pelatihan antar budaya, hingga pendampingan berlanjut bagi pelajar di Indonesia yang nantinya belajar di luar negeri.
Dengan berbagai upaya program yang dilalui oleh pelajar Indonesia, saya yakin pelajar Indonesia akan siap dan mantap untuk menempuh pendidikan di luar negeri serta kelak mampu berintegrasi dengan pemimpin dari berbagai belahan dunia di ranah global. Eits, tapi ingat tanah air Indonesia menunggu ide kreatif dan keterampilan kalian, jadi setelah berhasil, pulanglah dan bangunlah negeri ini. ( Oleh Siska Febriyani
NIM : 202000060004 )