Oleh : Ali mahyail Falasi Komisioner Bawaslu Kota Bekasi

PENABEKASI.ID - BEKASI BARAT, Sebagai Lembaga Negara Bawaslu mempunyai kedudukan yang sangat kuat, pembentukan Bawaslu di atur dalam UU no.7 tahun 2017, pasal 89 sampai pasal 113
Bawaslu hadir sebagai ejawantah dari kondisi pemilu masa orde baru yang dianggap tidak demokratis, dia adalah perwujudan kehendak masyarakat menginginkan adanya pemilu yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam proses kepemimpinan baik lokal maupun nasional.

Jadi wajar saja pada tanggal 21 Mei 2019, pasca pengumuman pilpres oleh KPU RI, justru kantor Bawaslu RI yang di demo besar2an secara massif oleh masyarakat, bahkan sampai timbul korban jiwa, secara pribadi saya anggap itu wujud kepedulian dan semangat masyarakat akan harapan besar yang di letakkan di Pundak Bawaslu RI.

Hakekatnya Bawaslu memikul beban maha berat untuk mewujudkan pemilu yang Jujur, bersih dan berintegritas, dan sejatinya aparat bawaslu di seluruh Indonesia telah dan sedang bekerja dengan sangat keras untuk mewujudkan impian masyarakat itu. Tetapi Kenapa Bawaslu yang dinilai seolah olah gagal menjadi penjaga marwah pemilu yang jujur dan berintegritas? Padahal yang di tuntut masyarakat pendemo adalah sesuatu yang menjadi ranah kerja KPU, misalnya soal kotak suara kardus, DPT siluman, Situng yang bermasalah, keberadaan DPT “orang tidak waras”, pengumuman oleh KPU yang di lakukan tengah malam, dan sederet persoalan remeh temeh lainnya.

Ada 2 kemungkinan kenapa rakyat lebih memilih untuk berdemo di kantor bawaslu, yang pertama adalah masyarakat sudah tidak percaya dengan KPU dan mengganggap Bawaslu lah yang harusnya ‘menegur’ KPU atas kerja2 yang telah dilakukannya dan yang kedua Bawaslu harus berperan lebih aktif dan inklusif dalam proses2 kerja kepemiluan, bawaslu di anggap sebagai tonggak terakhir atau sebagai penjaga gawang dalam proses pelaksanaan pemilu yang seharusnya jujur dan berintegritas.

Fenomena pelanggaran di pilkada serentak
Tahapan penyelenggaraan pilkada serentak saat ini tengah berlangsung, ada beberapa catatan menarik yang layak untuk dicermati, termasuk peran bawaslu sebagai watch dog proses pelaksanaan penyelenggaraan pilkada tersebut. Yang pertama adalah fenomena adanya mahar politik bagi calon kepala daerah yang ingin mendapatkan rekomendasi dari partai, seperti yang di ungkap oleh bupati Jember yang ingin maju Kembali dalam pilkada 2020, dalam pesan WA yang sempat viral beberapa waktu yang lalu, dikatakan bahwa di butuhkan miliaran rupiah untuk mendapat rekomendasi partai, dan oleh karena itu dia harus maju dari jalur independent, hal sama juga di ungkap oleh Kaka Suminta sekjen KIPP (dalam satu webinar) yang telah mendeteksi adanya pergerakan timses CAKADA yang hilir mudik ke Jakarta, dimana kerap kali dia menemukan adanya orang2 daerah tersebut di hotel2 dan café2 tertentu di Jakarta, untuk mengurus rekom partai yang menurut Kaka Suminta, ada biaya dengan kode ‘logistik’ yang harus dilkeluarkan.

Jelas ini ada adalah sebuah pelanggaran terhadap undang2 pilkada no. 10 tahun 2016 pasal 47 ayat 1 yang secara explisit menyebutkan, partai politik tidak diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk apapun saat proses pencalonan Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, dengan sangsi sesuai pasal 187 B berupa pidana 36 bulan dan denda 300 juta rupiah, sangsi yang berat ini ternyata tidak menyurutkan oknum pengurus parpol dan Cakada untuk terus melalukan transaksi haram mahar politik ini, setiap saat selalu terulang dan bawaslu sampai saat ini belum mampu mengungkap kasus ini.

Fenomena kedua adalah ketidak patuhan para calon kepala daerah dan timnya dalam menjalankan protokol Kesehatan covid-19 terkait pelaksanaan pendaftaran Bacalon Pilkada di KPUD masing2 daerah, masih terlihat kerumunan dan pengumpulan pendukung dari masing2 Bacalon tersebut bahkan ada bacalon yang mengadakan konser musik atau semacamnya, tentu hal ini sangat bertentangan dengan protokol Kesehatan serta PKPU 6 tahun 2020 tentang Pilkada serentak dalam kondisi covid-19, Bawaslu seperti yang di katakan oleh Kordiv Pengawasan Bawaslu RI, M. Afiffudin, telah menemukan adanya sebanyak 243 pelanggaran protokol Kesehatan, berupa arak2kan dan kegiatan lain yang memicu berkumpulnya banyak orang (suara.com 7/9/2020).

Kondisi inilah yang memicu kritik keras dari para pegiat pemilu dan masyarakat umum, karena di anggap dapat menciptakan cluster2 baru penularan covid-19, siapa yang akan bertangung jawab jika itu terjadi, penyelengara pemilukah, DPR RI atau pemerintah? di tambah adanya temuan kasus 96 orang aparat bawaslu boyolali yang positif terinfeksi covid 19, pasca pelaksanaan tahapan coklit (Detik.news, 8/9/2020), pada kasus ini sekali lagi bawaslu terlihat kelimpungan serta gagap dalam melakukan Tindakan pencegahan atau penindakan pelanggaran.

Tantangan Bawaslu kedepan
Kedua Fenomena di atas, jelas menjadi tantangan Bawaslu untuk dapat bertindak sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia, Fenomena Mahar Politik memang sesuatu yang sangat sulit untuk dibuktikan, walaupun secara umum semua orang sudah mengetahui tetapi tidak semua orang mengakui, karena tidak mungkin pihak2 yang terlibat akan mengakuinya, Undang2 pilkada no. 10/2016 menyasar keduanya, baik si pemberi maupun si penerima, pengakuan sama dengan bunuh diri, karier politik bisa tamat. Perilaku koruptif inilah yang menjadi akar persoalan kepemimpinan di daerah, karena para kepala daerah terpilih akan bekerja semata-mata hanya untuk mengembalikan biaya yang telah mereka keluarkan untuk mahar politik ini.

Kejahatan ini adalah yang tersulit untuk di tindak oleh bawaslu, terbukti sampai saat ini belum ada satu kasus pun tentang mahar politik yang di tangani oleh bawaslu di seluruh Indonesia. Tetapi sebuah adagium di dunia kepolisian mengatakan tidak kejahatan yang sempurna, sepandai pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga, kejahatan sekecil apapun pasti bisa di endus, karena kejahatan pasti meninggalkan jejak, hanya masalahnyanya punya ruang tidak, agar bawaslu dapat bekerja dengan maksimal, perlu lompatan besar dari sisi regulasi/payung hukum yang dapat memberikan keleluasaan aparat bawaslu untuk bekerja, misalnya bagaimana bawaslu harus mendapat support yang seluas2nya dari PPATK dan OJK agar dapat mengendus pergerakan uang dari Cakada, Bawaslu juga harus di berikan kewenangan untuk melakukan penyadapan, seperti yang di berikan oleh KPK, melakukan penggeladahan dan pemanggilan paksa, serta kewenangan2 atributif lainnya, tentu hal ini hanya dapat terjadi jika si pembuat regulasi (DPR RI) tidak keberatan untuk memberikannya, jika tidak, maka Bawaslu tidak mungkin dapat mengungkap kasus korupsi mahar politik tersebut, dan rakyat akan bertanya terus, kemanakah bawaslu? Masih adakah bawaslu? Kenapa sesuatu pelanggaran yang ada di depan mata, tapi tidak bisa di ungkap?
Fenomena yang kedua adalah pelanggaran atas protokol covid, Dalam hal ini begitu banyak pasal yang dilanggar oleh para calon kepala daerah tersebut, seut saya UU no.6 tahun 2016, tentang karantina, PP 21/2020 tentang PSBB, Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakana pemerintah dalam penanggulangan penyebaran Covid, bahkan KHUP pasal 218 menyebutkan “Barang siapa pada waktu dating berkerumun dengan sengaja dan tidak pergi detelah di perintah 3 x oleh pejabat yang berwenang, di ancam pidana 4 bulan penjara.

Dalam release kemendagripun sudah menegur keras mengancam 69 pasangan calon petahana yang diduga melanggar protokol Kesehatan tersebut, mendagri mengancam akan mengundur pelantikan calon tersebut jika seandainya mereka terpilih Kembali.

Lantas dalam konteks ini, dimanakah bawaslu berapa? Kenapa bawaslu tidak bisa melakukan penindakan terhadap para pelanngar tersebut, temuan yang di ungkap oleh Kordiv.Pengawasan Bawaslu RI M. Afifuddin, Msi. seolah menggema di ruang hampa, kasus yang menjadi perhatian pegiat pemilu ini dan berpotensi membahayakan keselamatan jiwa anak bangsa, tidak mampu di tangani oleh bawaslu karena kendala payung hukum yang tidak kompatibel.

Mau kemanakah bawaslu? Sebuah pertanyaan yang mungkin akan sangat Panjang jawabnya, tetapi sebagai semana anak bangsa, yang masih menghendaki pemilu dapat belangsung dengan Jurdil dan berintegritas, tentu kita masih berharap bahwa bawaslu dapat menjalankan tugas yang di amanatkan, sebagai tonggak terakhir penjaga integritas pemilu/pilkada yang mampu menjaga harapan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Salam Demokrasi. (Red)